Sampah Sendiri, Kelola Sendiri! *)
Mungkin ini hanya bisa dilakukan di daerahku, atau tempat lainnya yang masih banyak lahan kosongnya.
Siapa sih yang tak dipusingkan masalah sampah? Sampai Presiden SBY pun perlu belajar –antara lain– penanganan sampah sampai ke Negeri Cina. SBY tertarik dengan “pembangkit listrik tenaga sampah” di Cina, yang ternyata tak memerlukan teknologi yang canggih-canggih amat (baca Gatra terbaru).
Itu untuk skala nasional, atau paling tidak, kota, yang banyak menghasilkan sampah. Ingat tragedi Bandung Lautan Sampah belum lama ini?
Tapi untuk skala rumahtangga, asalkan dilakukan tiap hari, insya Allah tak terlalu merepotkan.
Seperti sampah rumahtanggaku yang dibagi empat kategori;
* sampah organik –> dipendam di tanah, atau ditaruh di pot tanaman, biar jadi pupuk
* sampah non-organik, yang dibagi lagi jadi;
^ sampah recycle alias yang bisa didaur ulang –> diberikan pada pemulung
^ sampah reuse alias yang bisa dimanfaatkan kembali, atau dimanfaatkan setelah dimodifikasi jadi fungsi lainnya –> tak jadi dibuang
^ sampah reduce alias yang bisa dimusnahkan, dengan cara dibakar (ingat, hanya bisa dilakukan di daerah yang masih jarang permukimannya –seperti di komplek perumahanku).
Nah, untuk sampah yang bisa dimusnahkan, kami (terutama, istriku) tak ragu-ragu “menularkan” cara pembakaran sebagai solusi terbaik saat ini. Maklumlah, di komplek kami belum ada tukang sampah yang rutin menjemput sampah-sampah rumahtangga.
Istriku punya cara efektif dan efisien untuk membakar sampah ini. Pertama, selain sampahnya kering, juga dilakukan di siang hari, saat hari panas dan berangin, agar api cepat menghabiskan sampah plastik, kertas, dan bahan mudah terbakar lainnya.
Kedua, tak usah menggunakan minyak tanah atau bahan bakar lainnya. Jelas, itu sebuah pemborosan (ingat, minyak tanah sekarang mahal dan langka).
*Tapi perlu diwaspadai, sampah tidak dibakar di tengah alang-alang, apalagi saat kemarau, karena bisa merembet, dan apinya sulit dipadamkan. Selain itu, sebelum sampah itu habis terbakar, perlu ditunggui, atau paling tidak, diawasi*
* * *
Tadi pagi, aku melihat tetangga sebelah rumah yang baru pindah, yang sedang membakar sampahnya. Tapi, meski menggunakan minyak tanah, sampahnya tak kunjung habis terbakar.
Ternyata… yang dibakar itu bukan hanya plastik atau kertas bekas pembungkus, melainkan juga, sisa sayuran, kulit pisang, cangkang telor, dll. Pantes saja.
*) reposting dari http://tianarief.wordpress.com yang error passwordnya
image: istockphoto
Siapa sih yang tak dipusingkan masalah sampah? Sampai Presiden SBY pun perlu belajar –antara lain– penanganan sampah sampai ke Negeri Cina. SBY tertarik dengan “pembangkit listrik tenaga sampah” di Cina, yang ternyata tak memerlukan teknologi yang canggih-canggih amat (baca Gatra terbaru).
Itu untuk skala nasional, atau paling tidak, kota, yang banyak menghasilkan sampah. Ingat tragedi Bandung Lautan Sampah belum lama ini?
Tapi untuk skala rumahtangga, asalkan dilakukan tiap hari, insya Allah tak terlalu merepotkan.
Seperti sampah rumahtanggaku yang dibagi empat kategori;
* sampah organik –> dipendam di tanah, atau ditaruh di pot tanaman, biar jadi pupuk
* sampah non-organik, yang dibagi lagi jadi;
^ sampah recycle alias yang bisa didaur ulang –> diberikan pada pemulung
^ sampah reuse alias yang bisa dimanfaatkan kembali, atau dimanfaatkan setelah dimodifikasi jadi fungsi lainnya –> tak jadi dibuang
^ sampah reduce alias yang bisa dimusnahkan, dengan cara dibakar (ingat, hanya bisa dilakukan di daerah yang masih jarang permukimannya –seperti di komplek perumahanku).
Nah, untuk sampah yang bisa dimusnahkan, kami (terutama, istriku) tak ragu-ragu “menularkan” cara pembakaran sebagai solusi terbaik saat ini. Maklumlah, di komplek kami belum ada tukang sampah yang rutin menjemput sampah-sampah rumahtangga.
Istriku punya cara efektif dan efisien untuk membakar sampah ini. Pertama, selain sampahnya kering, juga dilakukan di siang hari, saat hari panas dan berangin, agar api cepat menghabiskan sampah plastik, kertas, dan bahan mudah terbakar lainnya.
Kedua, tak usah menggunakan minyak tanah atau bahan bakar lainnya. Jelas, itu sebuah pemborosan (ingat, minyak tanah sekarang mahal dan langka).
*Tapi perlu diwaspadai, sampah tidak dibakar di tengah alang-alang, apalagi saat kemarau, karena bisa merembet, dan apinya sulit dipadamkan. Selain itu, sebelum sampah itu habis terbakar, perlu ditunggui, atau paling tidak, diawasi*
* * *
Tadi pagi, aku melihat tetangga sebelah rumah yang baru pindah, yang sedang membakar sampahnya. Tapi, meski menggunakan minyak tanah, sampahnya tak kunjung habis terbakar.
Ternyata… yang dibakar itu bukan hanya plastik atau kertas bekas pembungkus, melainkan juga, sisa sayuran, kulit pisang, cangkang telor, dll. Pantes saja.
*) reposting dari http://tianarief.wordpress.com yang error passwordnya
image: istockphoto
0 Comments:
Post a Comment
<< Home