Lupakan Kartini!
Ringkasan Kolom Jaleswari Pramodhawardani, Aktivis gerakan perempuan, Gatra.com, 21 April 2004
Ada tiga watak utama yang membuat saya mencintai Kartini: pembangkangan, kecerdasan, dan spiritualnya. Namun ada tiga hal lainnya yang membuat saya jengkel: kompromi, kepolosan, dan ambiguitasnya. Dalam konteks perjuangan perempuan, hal-hal itu menenggelamkan saya pada satu pemahaman mendalam bahwa hanya perempuan yang bisa bercerita kemerdekaan. Seperti dia. Ketika semua proses penindasan dialami, dan kritik atasnya dilakukan. Kartini, siapa pun tahu, dalam pingitan tradisi kebangsawanan telah melakukan pembangkangan ideologi keluarga. Perjuangannya tidak saja menyentuh persoalan yang hari ini kita pahami sebagai "kesetaraan gender", namun strategi mengorbankan diri untuk perjuangan yang ia yakini sungguh luar biasa. Layaknya memuja Kartini, kita juga perlu tahu kelemahan dan kekuatan pergerakan perempuan, keburukan dan kebaikannya, dan melakukan kritik terhadapnya sebagai cermin yang sebening-beningnya bagi kita, agar gerakan ini lebih luas dan mengakar. Kartini hanya nama, ia boleh siapa saja. Biarlah spiritnya yang hidup dan mewarnai gerakan perempuan selama ini, seperti spirit Tjut Nyak Dien, Dewi Sartika, atau Martha Kristina Tiahahu. Sehingga, kelak kita hanya perlu memperingati hari perempuan nasional tanggal 21 April. Tidak perlu nama. Tidak perlu kultus.
[Kolom, GATRA Edisi Khusus Kartini, terbit Senin 19 April 2004]
Ringkasan Kolom Jaleswari Pramodhawardani, Aktivis gerakan perempuan, Gatra.com, 21 April 2004
Ada tiga watak utama yang membuat saya mencintai Kartini: pembangkangan, kecerdasan, dan spiritualnya. Namun ada tiga hal lainnya yang membuat saya jengkel: kompromi, kepolosan, dan ambiguitasnya. Dalam konteks perjuangan perempuan, hal-hal itu menenggelamkan saya pada satu pemahaman mendalam bahwa hanya perempuan yang bisa bercerita kemerdekaan. Seperti dia. Ketika semua proses penindasan dialami, dan kritik atasnya dilakukan. Kartini, siapa pun tahu, dalam pingitan tradisi kebangsawanan telah melakukan pembangkangan ideologi keluarga. Perjuangannya tidak saja menyentuh persoalan yang hari ini kita pahami sebagai "kesetaraan gender", namun strategi mengorbankan diri untuk perjuangan yang ia yakini sungguh luar biasa. Layaknya memuja Kartini, kita juga perlu tahu kelemahan dan kekuatan pergerakan perempuan, keburukan dan kebaikannya, dan melakukan kritik terhadapnya sebagai cermin yang sebening-beningnya bagi kita, agar gerakan ini lebih luas dan mengakar. Kartini hanya nama, ia boleh siapa saja. Biarlah spiritnya yang hidup dan mewarnai gerakan perempuan selama ini, seperti spirit Tjut Nyak Dien, Dewi Sartika, atau Martha Kristina Tiahahu. Sehingga, kelak kita hanya perlu memperingati hari perempuan nasional tanggal 21 April. Tidak perlu nama. Tidak perlu kultus.
[Kolom, GATRA Edisi Khusus Kartini, terbit Senin 19 April 2004]
0 Comments:
Post a Comment
<< Home