Mengajar, Kenapa Tidak?
Mengajar bukanlah hobiku, apalagi keahlianku. Tapi setelah disadari, kegiatan transfer ilmu pengetahuan dan pengalaman penting. Setidaknya bagiku, biar ilmu bisa diamalkan ("Sampaikanlah walau satu ayat." [HR Bukhari]), dan bisa berbagi pengalaman. Para murid pun, kalau tidak mendapat banyak ilmu dariku, paling tidak, bisa mendapat pengalaman baru.
Maka, ketika seorang guru di sekolah Fay, anakku, menawariku untuk berbagi pengalaman soal teknologi informasi dan globalisasi bersama teman-teman kecil (baca: murid) kelas 6 SD, aku pun mengiyakan.
Berinteraksi dengan anak seumuran Fay, pasti seru. Apalagi mereka sejak kelas 1 sudah dibiasakan dengan "kemerdekaan" di kelas. Kemerdekaan dalam mengemukakan pendapat dan perasaan mereka.
Kegiatan sharing pengalaman ini dimulai Senin pekan depan (31/1).
Sebelumnya, sekitar akhir 2009, aku pernah menerima tawaran seorang teman kuliah yang menjadi guru di sebuah SMP berasrama di Cisaat, Sukabumi, yakni memberikan pelatihan Dasar-dasar Jurnalistik.
Aku pun datang dan berbagi pengalaman Ilmu Jurnalistik yang kudapat di bangku kuliah dan kantor tempat aku bekerja, dalam Mini Workshop yang digelar sekolah itu. Ternyata, sambutannya cukup antusias.
Para ABG yang (oleh sekolahnya) dibiasakan bebas berekspresi itu memberikan pengalaman baru bagiku. Mereka pun mau terlibat aktif dalam pelatihan singkat itu.
* * *
"Saya mau kuliah lagi di S-2, lalu menjadi dosen," ujar abangku, yang bekerja di perusahaan swasta, kemarin (23/1). Setelah lebih dua dekade menjadi profesional di bidangnya, abangku akhirnya kepikiran untuk berbagi ilmu dan pengalaman kepada para mahasiswa.
"Biar ilmu tidak percuma dan bisa bermanfaat bagi orang lain," katanya, tentang alasan untuk kembali ke kampus.
You see? Pengajar dan yang diajar sebenarnya saling membutuhkan. Pengajar, orang yang membagi ilmu dan pengalamannya, setidaknya bisa menyalurkan kebutuhannya untuk --apa yang disebut Abraham Harold Maslow (1908 - 1970)-- aktualisasi diri.
Maka, ketika seorang guru di sekolah Fay, anakku, menawariku untuk berbagi pengalaman soal teknologi informasi dan globalisasi bersama teman-teman kecil (baca: murid) kelas 6 SD, aku pun mengiyakan.
Berinteraksi dengan anak seumuran Fay, pasti seru. Apalagi mereka sejak kelas 1 sudah dibiasakan dengan "kemerdekaan" di kelas. Kemerdekaan dalam mengemukakan pendapat dan perasaan mereka.
Kegiatan sharing pengalaman ini dimulai Senin pekan depan (31/1).
Sebelumnya, sekitar akhir 2009, aku pernah menerima tawaran seorang teman kuliah yang menjadi guru di sebuah SMP berasrama di Cisaat, Sukabumi, yakni memberikan pelatihan Dasar-dasar Jurnalistik.
Aku pun datang dan berbagi pengalaman Ilmu Jurnalistik yang kudapat di bangku kuliah dan kantor tempat aku bekerja, dalam Mini Workshop yang digelar sekolah itu. Ternyata, sambutannya cukup antusias.
Para ABG yang (oleh sekolahnya) dibiasakan bebas berekspresi itu memberikan pengalaman baru bagiku. Mereka pun mau terlibat aktif dalam pelatihan singkat itu.
* * *
"Saya mau kuliah lagi di S-2, lalu menjadi dosen," ujar abangku, yang bekerja di perusahaan swasta, kemarin (23/1). Setelah lebih dua dekade menjadi profesional di bidangnya, abangku akhirnya kepikiran untuk berbagi ilmu dan pengalaman kepada para mahasiswa.
"Biar ilmu tidak percuma dan bisa bermanfaat bagi orang lain," katanya, tentang alasan untuk kembali ke kampus.
You see? Pengajar dan yang diajar sebenarnya saling membutuhkan. Pengajar, orang yang membagi ilmu dan pengalamannya, setidaknya bisa menyalurkan kebutuhannya untuk --apa yang disebut Abraham Harold Maslow (1908 - 1970)-- aktualisasi diri.
Foto: Aku saat memberikan pelatihan di SMP Alkausar Boarding School [Rachmawati/Alkausar]
0 Comments:
Post a Comment
<< Home