Bocor, Rubuh
Sudah bocor, rubuh pula. Itulah yang menimpa rumahku. Saat itu, saya baru saja melaksanakan shalat Idul Adha. Semalaman, hujan mengguyur Sasak Panjang (juga Jakarta --mengakibatkan banjir). Sejak siang sehari sebelum Hari Raya, istriku sudah "teriak-teriak" lewat telepon ke kantorku, mengabarkan bahwa seisi rumah kebasahan karena bocor di mana-mana. "Lebih dari sepuluh titik, kali Yah," keluhnya. Airnya, setelah ditampung, ada setengah ember.
Benar saja. Kasur busa sampai basah kena bocoran hujan. Demikian pula lantai. Setelah saya liat sekilas, ternyata bocornya itu-itu juga. Biangnya diduga keras dari wuwungan (orang Betawi menyebutnya "karpusan") yang retak-retak. Esoknya, saya naik atap. Ternyata, ada satu genteng paling atas, yang nempel di karpusan --persis di atas kamar-- pecah.
Tanpa membuang waktu, saya pahat dan lepaskan genteng pecah itu. Lalu diganti dengan genteng cadangan. Masalah belum selesai. Ternyata, genteng di atap ruang utama rumah juga ada yang pecah dua. Saya lalu mencoba menggantinya.
Rubuh
Belum lagi mengganti genteng kedua, tiba-tiba atap bergetar dan seperti mengayun sesaat disertai bunyi dentaman di bawah. Istri saya teriak, ada batako jatuh ke ruang tengah, menembus eternit (plafon), seraya menyuruh saya cepat turun melihatnya.
Saya teringat anak saya --Fay-- yang berada di dalam. Ternyata --alhamdulillah-- Allah masih melindunginya. Ternyata, Fay sedang mengacak-acak rak buku di kamar. Padahal, Fay biasanya bermain setrikaan di ruang tengah, persis di tempat jatuhnya batako itu. Batako itu jatuh mengenai jolang (tempat air) di atas meja, dan jolangnya pecah. Seisi rumah berantakan oleh serpihan batako dan pasir, seperti kapal pecah.
Takut rumah rubuh lagi, saya segera memanggil tukang. Menurut tukang itu, ternyata batako penyangga palang kayu besar di atap utama, jatuh akibat terbebani sewaktu saya berada di atap. Penyangga itu dikerjakan secara asal-asalan oleh proyek perumahan. Tanpa plesteran semen, dan adukannya pun miskin semen, pasir melulu.
Tukang --yang masih tetangga dekat-- itu pun memperbaiki tembok penyangga, memlesternya dengan kuat, sekaligus mengganti genteng yang pecah. Dia berhasil meyakinkan saya bahwa rumah kami masih cukup kuat dipanjat atapnya, apabila gentengnya bocor lagi.
*Benar saja, malamnya sewaktu hujan, wuwungan itu masih bocor, karena belum tuntas ditambal. Saya lalu membeli Aqua Proof plus serat fiber untuk menambal retakan-retakan itu satu per satu*
Benar saja. Kasur busa sampai basah kena bocoran hujan. Demikian pula lantai. Setelah saya liat sekilas, ternyata bocornya itu-itu juga. Biangnya diduga keras dari wuwungan (orang Betawi menyebutnya "karpusan") yang retak-retak. Esoknya, saya naik atap. Ternyata, ada satu genteng paling atas, yang nempel di karpusan --persis di atas kamar-- pecah.
Tanpa membuang waktu, saya pahat dan lepaskan genteng pecah itu. Lalu diganti dengan genteng cadangan. Masalah belum selesai. Ternyata, genteng di atap ruang utama rumah juga ada yang pecah dua. Saya lalu mencoba menggantinya.
Rubuh
Belum lagi mengganti genteng kedua, tiba-tiba atap bergetar dan seperti mengayun sesaat disertai bunyi dentaman di bawah. Istri saya teriak, ada batako jatuh ke ruang tengah, menembus eternit (plafon), seraya menyuruh saya cepat turun melihatnya.
Saya teringat anak saya --Fay-- yang berada di dalam. Ternyata --alhamdulillah-- Allah masih melindunginya. Ternyata, Fay sedang mengacak-acak rak buku di kamar. Padahal, Fay biasanya bermain setrikaan di ruang tengah, persis di tempat jatuhnya batako itu. Batako itu jatuh mengenai jolang (tempat air) di atas meja, dan jolangnya pecah. Seisi rumah berantakan oleh serpihan batako dan pasir, seperti kapal pecah.
Takut rumah rubuh lagi, saya segera memanggil tukang. Menurut tukang itu, ternyata batako penyangga palang kayu besar di atap utama, jatuh akibat terbebani sewaktu saya berada di atap. Penyangga itu dikerjakan secara asal-asalan oleh proyek perumahan. Tanpa plesteran semen, dan adukannya pun miskin semen, pasir melulu.
Tukang --yang masih tetangga dekat-- itu pun memperbaiki tembok penyangga, memlesternya dengan kuat, sekaligus mengganti genteng yang pecah. Dia berhasil meyakinkan saya bahwa rumah kami masih cukup kuat dipanjat atapnya, apabila gentengnya bocor lagi.
*Benar saja, malamnya sewaktu hujan, wuwungan itu masih bocor, karena belum tuntas ditambal. Saya lalu membeli Aqua Proof plus serat fiber untuk menambal retakan-retakan itu satu per satu*
0 Comments:
Post a Comment
<< Home