Solidarity Forever
"Solidarity Forever" adalah semboyan "anak-anak mesin" sebuah kampus di Jalan Ganesha 10 Bandung. Tapi, sekarang ini semboyan itu sangat tepat untuk menggambarkan, betapa eratnya solidaritas sesama anak negeri, bahkan antar-bangsa, untuk membantu meringankan saudara-saudara kita korban tsunami di Aceh.
Di setiap tempat, banyak posko didirikan para relawan untuk menggalang bantuan --barang dan dana-- dari masyarakat luas. Banyak pihak yang membuka rekening bank, khusus untuk sumbangan ke Aceh. Operator telepon seluler memberikan kemudahan bagi pelanggannya untuk menjadi dermawan bagi Aceh hanya dengan memencet tombol-tombol HP-nya (lihat: Telkom Group Buka SMS2000). Pokoknya, sekarang ini "banyak jalan menuju Aceh". Maksudnya, banyak cara menyumbang (harta) bagi warga Aceh yang kini banyak menghuni kamp-kamp pengungsian di sana.
Ngomong-ngomong soal sumbangan, sekarang ini banyak pihak yang mengutip sumbangan, mulai dari instansi pemerintah, swasta, hingga masyarakat umum. Ada yang mengingatkan, agar berhati-hati dengan pihak-pihak yang mengutip sumbangan mengatasnamakan korban Aceh. Tapi masalahnya, kita tidak tahu, mana yang asli, mana yang sekadar penipuan. Saya kira, sangat tidak beradab kalau ada orang-orang yang mengeruk keuntungan di atas penderitaan orang lain. Saya sendiri, tak ingin mengedepankan rasa curiga, kalau tak ada bukti-bukti yang jelas.
Ada seorang teman yang merasa tak cukup hanya dengan menyumbang harta. Ia ingin sekali jadi relawan ke Aceh, tapi selain tak memiliki keterampilan dan fisik yang kuat, juga tidak tahu cara berangkat ke sana. Padahal, jadi relawan itu tidaklah ringan. Paling tidak, ada beberapa syarat dasar jadi relawan --sebagaimana dikatakan seorang relawan PMI dalam "Bincang Pagi" Metro TV, antara lain punya niat tulus dan rasa kemanusiaan tinggi, sehat jasmani dan rohani, fisik kuat, mental kuat, sudah jelas mengetahui, apa yang akan dilakukan, dan membawa makanan sendiri.
Karena kalau tidak, malah akan merepotkan di sana. Bukannya menolong korban, malah ditolong. Wakil Ketua Tim Kesehatan Mabes TNI Kolonel Dr Stefanus Surjoko mengungkapkan, banyak sukarelawan yang akhirnya enggan melakukan tugas kemanusiaan, mengangkat jenazah-jenazah yang membusuk dan mudah rusak (lihat: Jangan Asal Sukarelawan).
Tim Dompet Dhuafa memberi kita tips. Jadi relawan, tak berarti secara fisik harus ke Aceh. Tapi bisa menggunakan otak kita, menyumbangkan pemikiran kita untuk membantu meringankan beban para korban di Aceh. Atau pakai internet, sebagai jembatan antara para korban/pengungsi Aceh dengan saudara, kerabat, teman mereka. Seperti kejadian di Thailand, seorang anak Swedia berusia 2 tahun yang selamat dari tsunami di sana, bisa bertemu kembali dengan kerabatnya di negara asalnya, setelah keberadaan bocah itu dimuat di internet.
Di setiap tempat, banyak posko didirikan para relawan untuk menggalang bantuan --barang dan dana-- dari masyarakat luas. Banyak pihak yang membuka rekening bank, khusus untuk sumbangan ke Aceh. Operator telepon seluler memberikan kemudahan bagi pelanggannya untuk menjadi dermawan bagi Aceh hanya dengan memencet tombol-tombol HP-nya (lihat: Telkom Group Buka SMS2000). Pokoknya, sekarang ini "banyak jalan menuju Aceh". Maksudnya, banyak cara menyumbang (harta) bagi warga Aceh yang kini banyak menghuni kamp-kamp pengungsian di sana.
Ngomong-ngomong soal sumbangan, sekarang ini banyak pihak yang mengutip sumbangan, mulai dari instansi pemerintah, swasta, hingga masyarakat umum. Ada yang mengingatkan, agar berhati-hati dengan pihak-pihak yang mengutip sumbangan mengatasnamakan korban Aceh. Tapi masalahnya, kita tidak tahu, mana yang asli, mana yang sekadar penipuan. Saya kira, sangat tidak beradab kalau ada orang-orang yang mengeruk keuntungan di atas penderitaan orang lain. Saya sendiri, tak ingin mengedepankan rasa curiga, kalau tak ada bukti-bukti yang jelas.
Ada seorang teman yang merasa tak cukup hanya dengan menyumbang harta. Ia ingin sekali jadi relawan ke Aceh, tapi selain tak memiliki keterampilan dan fisik yang kuat, juga tidak tahu cara berangkat ke sana. Padahal, jadi relawan itu tidaklah ringan. Paling tidak, ada beberapa syarat dasar jadi relawan --sebagaimana dikatakan seorang relawan PMI dalam "Bincang Pagi" Metro TV, antara lain punya niat tulus dan rasa kemanusiaan tinggi, sehat jasmani dan rohani, fisik kuat, mental kuat, sudah jelas mengetahui, apa yang akan dilakukan, dan membawa makanan sendiri.
Karena kalau tidak, malah akan merepotkan di sana. Bukannya menolong korban, malah ditolong. Wakil Ketua Tim Kesehatan Mabes TNI Kolonel Dr Stefanus Surjoko mengungkapkan, banyak sukarelawan yang akhirnya enggan melakukan tugas kemanusiaan, mengangkat jenazah-jenazah yang membusuk dan mudah rusak (lihat: Jangan Asal Sukarelawan).
Tim Dompet Dhuafa memberi kita tips. Jadi relawan, tak berarti secara fisik harus ke Aceh. Tapi bisa menggunakan otak kita, menyumbangkan pemikiran kita untuk membantu meringankan beban para korban di Aceh. Atau pakai internet, sebagai jembatan antara para korban/pengungsi Aceh dengan saudara, kerabat, teman mereka. Seperti kejadian di Thailand, seorang anak Swedia berusia 2 tahun yang selamat dari tsunami di sana, bisa bertemu kembali dengan kerabatnya di negara asalnya, setelah keberadaan bocah itu dimuat di internet.
1 Comments:
cool post
Post a Comment
<< Home