Dicambuk Semak, Dihadang Gajah
SETELAH gempa bumi dan tsunami melanda Nanggroe Aceh Darussalam dan sebagian Sumatera Utara, Kota Meulaboh dinyatakan terisolasi, karena jalur darat sama sekali terputus. Padahal, warga Ibukota Kabupaten Aceh Barat yang selamat dari musibah itu, sangat memerlukan bantuan. Pewarta foto Gatra Tatan Agus RST --yang berhasil melampaui isolasi jalur darat itu menggunakan sepeda motor-- melihat sendiri, bagaimana penderitaan warga kota yang paling dekat dengan episentrum gempa berkekuatan 8,9 dalam skala richter itu. Mereka, selain kehilangan sanak keluarganya, juga terancam bahaya kelaparan dan penyakit. Sehingga mereka berusaha keluar dari "kota mati" itu, berjalan berhari-hari lewat hutan, demi secercah harapan. Berikut penuturannya:
Saya memulai perjalanan panjang ini dari Kota Medan. Mulanya, saya berniat menyewa helikopter, yang memungkinkan saya melakukan pemotretan Kota Meulaboh dari udara. Namun apa daya, tarif sewa heli yang mencekik leher, 25.000 dolar AS per jam --minimal tiga jam-- memaksa saya mengurungkan niat meliuk-liuk di angkasa dengan "burung besi" itu. Akhirnya pilihan saya jatuh pada mobil sewaan Kijang "kapsul" silver dari sebuah perusahaan rental terkemuka di Ibukota Sumatera Utara itu.
Sekitar pukul 15.00 WIB, Rabu (29/12), Kijang yang disopiri Lobi, seorang anak muda asli Medan itu, bertolak menuju Lhokseumawe. Mobil yang saya tumpangi secara kebetulan beriringan dengan Kijang "kapsul" silver lainnya, yang disewa seorang jurnalis dari Korea. Saya tiba di Lhokseumawe sekitar pukul 22.00 WIB. Setelah makan malam di warung nasi pinggir jalan, malam itu juga saya meneruskan perjalanan ke Pidie yang ditempuh dari Lhokseumawe sekitar 1,5 jam perjalanan.
Dari Pidie, mobil saya belok kiri ke arah Beureunun menuju Geumpang, dan tiba di sana sekitar pukul 01.00 WIB, Kamis (30/12). Di sana, saya mengobrol dengan beberapa penduduk ibukota kecamatan itu, guna menggali informasi seputar peluang masuk Meulaboh lewat darat. Warga Geumpang cukup kaget mendengar niat saya ingin ke Meulaboh lewat jalan darat, karena jalan bekas perusahaan tambang emas Bre-X itu kini praktis tak pernah dipakai lagi, dan kembali jadi jalan setapak, karena tertutup semak-semak. Akhirnya, mereka menawarkan diri mengantar saya dengan sepeda motor.
Sepeda motor Suzuki Satria yang saya tumpangi, dikendarai Nazaruddin, seorang pria berusia 25 tahunan. Dua motor lainnya, Honda Astrea dan Honda CB 125 yang sudah terondol mengikuti saya di belakang. Kedua motor pengiring itu masing-masing mengangkut 30 liter bensin cadangan dalam jeriken dan sekitar 50 nasi bungkus dari dapur umum bagi para pengungsi, dengan lauk mi dan ikan asin, serta air putih. Dua motor itu juga bisa jadi penolong jika ada yang kejeblos. Saya sendiri hanya membawa bekal apel, biskuit, coklat, dan beberapa botol air mineral ukuran 600 mili liter, yang ditaruh di ransel day pack di punggung saya.
Iring-iringan motor saya berangkat pukul 4 pagi dari Geumpang. Selama perjalanan melewati medan terjal, licin dan berbatu, dengan jurang di kanan-kiri jalan, saya beberapa kali harus menutupi muka dan telinga dengan kedua tangan saya, karena cambukan alang-alang yang tingginya sekitar dua meteran. Meski Nazaruddin terbilang terampil mengendarai motor jenis bebek sport itu, tak urung, kami terjatuh sampai lima kali akibat menyenggol batang kayu atau terpeleset. Syukurlah, saya tak mengalami luka berarti.
Saya juga bersyukur pernah aktif di kegiatan pencinta alam sewaktu kuliah dulu. Karena ternyata, dengan kemampuan membaca peta yang saya miliki, saya bisa menentukan rute mana yang harus ditempuh. Tinggal menanyakannya pada Nazaruddin, selaku pengemudi sekaligus pemandu saya, apakah rute itu mungkin dilalui, atau harus mengambil jalur lain.
Tak makan 5 hari
Pengalaman paling mengesankan dan mengharukan, pada ketinggian sekitar 1.500 meter di atas permukaan laut, di tengah lebatnya hutan tropis Pegunungan Bukit Barisan, saya berpapasan dengan sekitar 15 laki-laki yang tampak lunglai. Ternyata, mereka pengungsi korban tsunami asal Meulaboh yang sudah melakukan perjalanan 5 hari 5 malam! Mereka adalah pengungsi Meulaboh pertama yang saya temui.
Salah seorang pengungsi, Abdurrahman --berusia sekitar 40-an-- menuturkan, ia kehilangan istri dan tiga anaknya. Rumahnya pun rata dengan tanah. Baginya, sudah tak ada harapan lagi menemukan anggota keluarganya hidup-hidup. Akhirnya, ia dan beberapa orang sekampungnya, memutuskan meninggalkan tanah kelahirannya, melangkahi banyak mayat yang bergelimpangan, demi kelangsungan hidupnya. Pertama-tama, menemukan makanan, yang sulit didapat di kota yang sudah porak-poranda disapu tsunami yang teramat dahsyat itu.
Ketika masing-masing diberi sebungkus nasi yang kami bawa, dia berucap, "inilah nasi pertama yang kami makan selama perjalanan 5 hari 5 malam." Sebelumnya, mereka hanya minum air dari mata air dan makan dedaunan. Abdurrahman pun berdoa untuk keselamatan perjalanan saya. Saya sampai menitikkan air mata haru, dan bersyukur ternyata ada orang yang melewati jalur yang jarang dilalui manusia ini.
Setelah saling berpamitan, saya melanjutkan perjalanan, karena tujuan saya satu: Meulaboh. Jauh-jauh dari Jakarta, saya ingin menyaksikan sendiri tempat paling dekat dengan pusat gempa yang menimbulkan tsunami di hampir semua pesisir Asia selatan hingga sebagian Afrika timur itu. Setelah terpontang-panting sekitar 9 jam, akhirnya sampai juga saya di Meulaboh. Menurut Nazaruddin, perjalanan ini terbilang singkat, karena biasanya mereka tempuh dalam waktu 11 sampai 12 jam.
Sesampainya di Meulaboh sekitar pukul 12 siang, saya melihat begitu banyak orang meninggalkan kota itu berjalan kaki tanpa bekal. Sementara bau mayat mulai tercium menyengat. Tampak beberapa mobil ambulan PMI dan truk hilir mudik mengangkut mayat. Mayat-mayat tampak bergelimpangan di pinggir jalan, di reruntuhan bangunan, dan di hampir semua penjuru kota.
Di kota yang tampak seperti "kota mati" itu, saya disambut beberapa anggota TNI dan Brimob yang mengamankan kota itu. ''Kamu wartawan pertama yang sampai di sini lewat darat,'' kata mereka sembari memeluk saya bergantian. Meulaboh benar-benar kota mati. Gedung-gedung perkantoran, pusat perbelanjaan dan permukiman, hancur. Luluh lantak rata dengan tanah. Tak banyak relawan di sana, kecuali beberapa petugas PMI dan anggota TNI/Polri. Setelah tiga jam di kota yang pernah saya kunjungi sewaktu kota itu masih hidup, saya harus kembali menuju Geumpang untuk kemudian ke Banda Aceh. Pasalnya, saya harus segera mengirimkan foto ke kantor saya. Di Meulaboh, tak ada listrik, juga tak ada sinyal ponsel. Sehingga rasanya benar-benar terisolir dari dunia luar.
Dalam perjalanan pulang, di tengah hutan antara Meulaboh-Pidie, kami diguyur hujan lebat, dari sekitar pukul 5 sore hingga 9 malam. Jalanan tambah licin, dan udara pun dingin menggigit. Padahal, saya hanya mengenakan kaos oblong plus topi pet. Setiap bertemu pengungsi, saya menyempatkan diri berbagi bekal yang masih saya miliki, terutama anak-anak dan perempuan. Saya bahagia menyaksikan betapa mereka sangat bersyukur dengan makanan yang tak seberapa banyak itu. Bahkan, di tengah hutan yang saya lewati, saya bertemu lagi dengan sekelompok pengungsi, yang tampaknya satu keluarga, terdiri dari seorang perempuan tua, dua ibu muda dan tiga lelaki muda. Yang mengharukan, di pundak masing-masing lelaki itu, ada tiga anak balita yang menggigil kedinginan di tengah guyuran hujan deras. Tampak bibir anak-anak kecil itu membiru kedinginan. Padahal, mereka tak membawa sepotong bekal pun. Mereka hanya membawa baju yang melekat di badan.
Spontan saya relakan bekal terakhir makan malam saya: tiga buah apel dan biskuit untuk saya berikan pada anak-anak malang itu. Nazaruddin pun tak mau ketinggalan. Ia membagi dua jas hujan ponco (jubah)-nya untuk sekadar pelindung anak-anak itu dari guyuran hujan. Saya begitu bahagia karena bisa mengalahkan ego saya untuk tidak memakan makanan itu, yang saya yakin, sangat berharga bagi mereka, meski saya sendiri harus menahan lapar sejenak. Sebaliknya, saya mungkin akan menyesal seumur hidup bila saya tak bisa menekan ego saya. Lebih dari itu, saya merasa menyesal, kenapa tidak membawa makanan lebih banyak lagi --sekilo-dua kilo apel-- untuk diberikan kepada mereka. Mereka tampaknya lebih membutuhkan makanan dibanding saya. Toh, di perjalanan saya bisa mencari makanan lain. Lagi pula, saya tidak berjalan kaki seperti mereka.
Setelah sempat bertemu seekor gajah liar yang menghadang jalan setapak kami sekitar setengah jam, sekitar pukul 21.30 WIB, sampailah saya di Geumpang. Dalam keadaan basah kuyup, kami disambut penduduk yang ingin tahu bagaimana keadaan Meulaboh setelah tsunami. Sehingga saya tidak bisa segera mengganti baju saya yang kering. Saya beristirahat sekitar setengah jam sambil berbagi cerita, sebelum melanjutkan perjalanan dengan mobil Kijang sewaan menuju Banda Aceh.
Saya rasanya puas sekali. Rasa penasaran saya terobati sudah. Sehingga pedih-pedih di kulit dan pegal-pegal di badan, tak lagi saya rasakan. Memang, Meulaboh perlu segera pertolongan, pasokan makanan dan tambahan tenaga medis serta sukarelawan, dengan cara apa pun, udara atau laut. Karena semakin lambat pertolongan itu datang, tidak mustahil, banyak di antara warga yang selamat tak mampu lagi bertahan.
Tian Arief
Saya memulai perjalanan panjang ini dari Kota Medan. Mulanya, saya berniat menyewa helikopter, yang memungkinkan saya melakukan pemotretan Kota Meulaboh dari udara. Namun apa daya, tarif sewa heli yang mencekik leher, 25.000 dolar AS per jam --minimal tiga jam-- memaksa saya mengurungkan niat meliuk-liuk di angkasa dengan "burung besi" itu. Akhirnya pilihan saya jatuh pada mobil sewaan Kijang "kapsul" silver dari sebuah perusahaan rental terkemuka di Ibukota Sumatera Utara itu.
Sekitar pukul 15.00 WIB, Rabu (29/12), Kijang yang disopiri Lobi, seorang anak muda asli Medan itu, bertolak menuju Lhokseumawe. Mobil yang saya tumpangi secara kebetulan beriringan dengan Kijang "kapsul" silver lainnya, yang disewa seorang jurnalis dari Korea. Saya tiba di Lhokseumawe sekitar pukul 22.00 WIB. Setelah makan malam di warung nasi pinggir jalan, malam itu juga saya meneruskan perjalanan ke Pidie yang ditempuh dari Lhokseumawe sekitar 1,5 jam perjalanan.
Dari Pidie, mobil saya belok kiri ke arah Beureunun menuju Geumpang, dan tiba di sana sekitar pukul 01.00 WIB, Kamis (30/12). Di sana, saya mengobrol dengan beberapa penduduk ibukota kecamatan itu, guna menggali informasi seputar peluang masuk Meulaboh lewat darat. Warga Geumpang cukup kaget mendengar niat saya ingin ke Meulaboh lewat jalan darat, karena jalan bekas perusahaan tambang emas Bre-X itu kini praktis tak pernah dipakai lagi, dan kembali jadi jalan setapak, karena tertutup semak-semak. Akhirnya, mereka menawarkan diri mengantar saya dengan sepeda motor.
Sepeda motor Suzuki Satria yang saya tumpangi, dikendarai Nazaruddin, seorang pria berusia 25 tahunan. Dua motor lainnya, Honda Astrea dan Honda CB 125 yang sudah terondol mengikuti saya di belakang. Kedua motor pengiring itu masing-masing mengangkut 30 liter bensin cadangan dalam jeriken dan sekitar 50 nasi bungkus dari dapur umum bagi para pengungsi, dengan lauk mi dan ikan asin, serta air putih. Dua motor itu juga bisa jadi penolong jika ada yang kejeblos. Saya sendiri hanya membawa bekal apel, biskuit, coklat, dan beberapa botol air mineral ukuran 600 mili liter, yang ditaruh di ransel day pack di punggung saya.
Iring-iringan motor saya berangkat pukul 4 pagi dari Geumpang. Selama perjalanan melewati medan terjal, licin dan berbatu, dengan jurang di kanan-kiri jalan, saya beberapa kali harus menutupi muka dan telinga dengan kedua tangan saya, karena cambukan alang-alang yang tingginya sekitar dua meteran. Meski Nazaruddin terbilang terampil mengendarai motor jenis bebek sport itu, tak urung, kami terjatuh sampai lima kali akibat menyenggol batang kayu atau terpeleset. Syukurlah, saya tak mengalami luka berarti.
Saya juga bersyukur pernah aktif di kegiatan pencinta alam sewaktu kuliah dulu. Karena ternyata, dengan kemampuan membaca peta yang saya miliki, saya bisa menentukan rute mana yang harus ditempuh. Tinggal menanyakannya pada Nazaruddin, selaku pengemudi sekaligus pemandu saya, apakah rute itu mungkin dilalui, atau harus mengambil jalur lain.
Tak makan 5 hari
Pengalaman paling mengesankan dan mengharukan, pada ketinggian sekitar 1.500 meter di atas permukaan laut, di tengah lebatnya hutan tropis Pegunungan Bukit Barisan, saya berpapasan dengan sekitar 15 laki-laki yang tampak lunglai. Ternyata, mereka pengungsi korban tsunami asal Meulaboh yang sudah melakukan perjalanan 5 hari 5 malam! Mereka adalah pengungsi Meulaboh pertama yang saya temui.
Salah seorang pengungsi, Abdurrahman --berusia sekitar 40-an-- menuturkan, ia kehilangan istri dan tiga anaknya. Rumahnya pun rata dengan tanah. Baginya, sudah tak ada harapan lagi menemukan anggota keluarganya hidup-hidup. Akhirnya, ia dan beberapa orang sekampungnya, memutuskan meninggalkan tanah kelahirannya, melangkahi banyak mayat yang bergelimpangan, demi kelangsungan hidupnya. Pertama-tama, menemukan makanan, yang sulit didapat di kota yang sudah porak-poranda disapu tsunami yang teramat dahsyat itu.
Ketika masing-masing diberi sebungkus nasi yang kami bawa, dia berucap, "inilah nasi pertama yang kami makan selama perjalanan 5 hari 5 malam." Sebelumnya, mereka hanya minum air dari mata air dan makan dedaunan. Abdurrahman pun berdoa untuk keselamatan perjalanan saya. Saya sampai menitikkan air mata haru, dan bersyukur ternyata ada orang yang melewati jalur yang jarang dilalui manusia ini.
Setelah saling berpamitan, saya melanjutkan perjalanan, karena tujuan saya satu: Meulaboh. Jauh-jauh dari Jakarta, saya ingin menyaksikan sendiri tempat paling dekat dengan pusat gempa yang menimbulkan tsunami di hampir semua pesisir Asia selatan hingga sebagian Afrika timur itu. Setelah terpontang-panting sekitar 9 jam, akhirnya sampai juga saya di Meulaboh. Menurut Nazaruddin, perjalanan ini terbilang singkat, karena biasanya mereka tempuh dalam waktu 11 sampai 12 jam.
Sesampainya di Meulaboh sekitar pukul 12 siang, saya melihat begitu banyak orang meninggalkan kota itu berjalan kaki tanpa bekal. Sementara bau mayat mulai tercium menyengat. Tampak beberapa mobil ambulan PMI dan truk hilir mudik mengangkut mayat. Mayat-mayat tampak bergelimpangan di pinggir jalan, di reruntuhan bangunan, dan di hampir semua penjuru kota.
Di kota yang tampak seperti "kota mati" itu, saya disambut beberapa anggota TNI dan Brimob yang mengamankan kota itu. ''Kamu wartawan pertama yang sampai di sini lewat darat,'' kata mereka sembari memeluk saya bergantian. Meulaboh benar-benar kota mati. Gedung-gedung perkantoran, pusat perbelanjaan dan permukiman, hancur. Luluh lantak rata dengan tanah. Tak banyak relawan di sana, kecuali beberapa petugas PMI dan anggota TNI/Polri. Setelah tiga jam di kota yang pernah saya kunjungi sewaktu kota itu masih hidup, saya harus kembali menuju Geumpang untuk kemudian ke Banda Aceh. Pasalnya, saya harus segera mengirimkan foto ke kantor saya. Di Meulaboh, tak ada listrik, juga tak ada sinyal ponsel. Sehingga rasanya benar-benar terisolir dari dunia luar.
Dalam perjalanan pulang, di tengah hutan antara Meulaboh-Pidie, kami diguyur hujan lebat, dari sekitar pukul 5 sore hingga 9 malam. Jalanan tambah licin, dan udara pun dingin menggigit. Padahal, saya hanya mengenakan kaos oblong plus topi pet. Setiap bertemu pengungsi, saya menyempatkan diri berbagi bekal yang masih saya miliki, terutama anak-anak dan perempuan. Saya bahagia menyaksikan betapa mereka sangat bersyukur dengan makanan yang tak seberapa banyak itu. Bahkan, di tengah hutan yang saya lewati, saya bertemu lagi dengan sekelompok pengungsi, yang tampaknya satu keluarga, terdiri dari seorang perempuan tua, dua ibu muda dan tiga lelaki muda. Yang mengharukan, di pundak masing-masing lelaki itu, ada tiga anak balita yang menggigil kedinginan di tengah guyuran hujan deras. Tampak bibir anak-anak kecil itu membiru kedinginan. Padahal, mereka tak membawa sepotong bekal pun. Mereka hanya membawa baju yang melekat di badan.
Spontan saya relakan bekal terakhir makan malam saya: tiga buah apel dan biskuit untuk saya berikan pada anak-anak malang itu. Nazaruddin pun tak mau ketinggalan. Ia membagi dua jas hujan ponco (jubah)-nya untuk sekadar pelindung anak-anak itu dari guyuran hujan. Saya begitu bahagia karena bisa mengalahkan ego saya untuk tidak memakan makanan itu, yang saya yakin, sangat berharga bagi mereka, meski saya sendiri harus menahan lapar sejenak. Sebaliknya, saya mungkin akan menyesal seumur hidup bila saya tak bisa menekan ego saya. Lebih dari itu, saya merasa menyesal, kenapa tidak membawa makanan lebih banyak lagi --sekilo-dua kilo apel-- untuk diberikan kepada mereka. Mereka tampaknya lebih membutuhkan makanan dibanding saya. Toh, di perjalanan saya bisa mencari makanan lain. Lagi pula, saya tidak berjalan kaki seperti mereka.
Setelah sempat bertemu seekor gajah liar yang menghadang jalan setapak kami sekitar setengah jam, sekitar pukul 21.30 WIB, sampailah saya di Geumpang. Dalam keadaan basah kuyup, kami disambut penduduk yang ingin tahu bagaimana keadaan Meulaboh setelah tsunami. Sehingga saya tidak bisa segera mengganti baju saya yang kering. Saya beristirahat sekitar setengah jam sambil berbagi cerita, sebelum melanjutkan perjalanan dengan mobil Kijang sewaan menuju Banda Aceh.
Saya rasanya puas sekali. Rasa penasaran saya terobati sudah. Sehingga pedih-pedih di kulit dan pegal-pegal di badan, tak lagi saya rasakan. Memang, Meulaboh perlu segera pertolongan, pasokan makanan dan tambahan tenaga medis serta sukarelawan, dengan cara apa pun, udara atau laut. Karena semakin lambat pertolongan itu datang, tidak mustahil, banyak di antara warga yang selamat tak mampu lagi bertahan.
Tian Arief
2 Comments:
"Percayalah kepada Tuhan Yesus! Engkau akan selamat--engkau dan semua orang yang di rumahmu!"
SDR ANONIM, SAYA SEORANG MUSLIM. SAYA PERINGATKAN, ANDA JANGAN COBA-COBA MENARIK ORANG YANG SUDAH BERAGAMA PADA AGAMA ANDA.
Post a Comment
<< Home