Banjir
Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) sudah mewanti-wanti, agar berhati-hati dengan perubahan ekstrim cuaca di akhir tahun, karena akan berakibat banjir. Apalagi bagi Kota Jakarta yang berada di dataran rendah.
Bagi pengguna kendaraan, banjir suka bikin was-was, apalagi roda empat. Pasalnya, kalau sudah terjebak kemacetan menuju banjir, mobil susah balik arah. Terpaksa harus menerjangnya. Mending kalau mobilnya sehat wal afiat. Kalau mogok, selain nanti harus berurusan dengan bengkel, juga harus mengeluarkan uang ekstra bagi si juru dorong.
Bagi pengendara motor kayak saya, banjir masih bisa disiasati. Kalau kira-kira ketinggian airnya bisa berakibat serius pada mesin motor, mending balik kanan cari jalan yang aman. Tapi pengalaman yang sudah-sudah, motor saya sering terpaksa menerjang banjir.
Apalagi motor saya jenis bebek. Sebagaimana namanya, motor bebek terbilang "pandai berenang". Artinya, menerjang banjir barang dua jengkal dalamnya, motor saya --insya Allah-- masih sanggup.
Seperti pengalaman kejadian banjir besar di Jakarta beberapa tahun lalu, di hari pertama saya bekerja di Gatra. Saya sampai terlambat sampai di kantor, padahal saya harus mengikuti brifing dari Pemred, gara-gara berputar-putar mencari jalan guna menghindari air bah ini. Tapi apa daya, karena semua ruas jalan ada banjirnya, terpaksa saya terjang juga jalan itu. Alhasil, saya terlambat satu jam di kantor.
Pengalaman lain, menerjang banjir di daerah "legendaris genangan air": Cipinang. Saat melewati Jalan Kolonel Sugiyono, Jaktim, di tengah hujan deras, lalulintas macet, motor saya harus berenang di banjir pula. Trotoar yang tingginya beberapa senti dari aspal saja sampai tenggelam. Tapi alhamdulillah, saya sukses melewati hambatan ini.
Masalahnya, meski motor saya "pandai berenang", Si Bebek ini tak bisa melindungi penunggangnya dari kekuyupan. Maklum, roda dua kan gak ada atapnya.
Bagi pengguna kendaraan, banjir suka bikin was-was, apalagi roda empat. Pasalnya, kalau sudah terjebak kemacetan menuju banjir, mobil susah balik arah. Terpaksa harus menerjangnya. Mending kalau mobilnya sehat wal afiat. Kalau mogok, selain nanti harus berurusan dengan bengkel, juga harus mengeluarkan uang ekstra bagi si juru dorong.
Bagi pengendara motor kayak saya, banjir masih bisa disiasati. Kalau kira-kira ketinggian airnya bisa berakibat serius pada mesin motor, mending balik kanan cari jalan yang aman. Tapi pengalaman yang sudah-sudah, motor saya sering terpaksa menerjang banjir.
Apalagi motor saya jenis bebek. Sebagaimana namanya, motor bebek terbilang "pandai berenang". Artinya, menerjang banjir barang dua jengkal dalamnya, motor saya --insya Allah-- masih sanggup.
Seperti pengalaman kejadian banjir besar di Jakarta beberapa tahun lalu, di hari pertama saya bekerja di Gatra. Saya sampai terlambat sampai di kantor, padahal saya harus mengikuti brifing dari Pemred, gara-gara berputar-putar mencari jalan guna menghindari air bah ini. Tapi apa daya, karena semua ruas jalan ada banjirnya, terpaksa saya terjang juga jalan itu. Alhasil, saya terlambat satu jam di kantor.
Pengalaman lain, menerjang banjir di daerah "legendaris genangan air": Cipinang. Saat melewati Jalan Kolonel Sugiyono, Jaktim, di tengah hujan deras, lalulintas macet, motor saya harus berenang di banjir pula. Trotoar yang tingginya beberapa senti dari aspal saja sampai tenggelam. Tapi alhamdulillah, saya sukses melewati hambatan ini.
Masalahnya, meski motor saya "pandai berenang", Si Bebek ini tak bisa melindungi penunggangnya dari kekuyupan. Maklum, roda dua kan gak ada atapnya.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home