Lebaran Bergembira, Salahkah?
Beberapa jam lalu, waktu jumatan, khatib mengatakan bahwa menyambut hari Idul Fitri (Lebaran), tak selayaknya bergembira. Menurutnya, Lebaran zaman Sahabat Nabi dahulu, selalu disambut dengan keharuan, dengan kesedihan, karena telah meninggalkan bulan Ramadhan yang penuh berkah dan ampunan.
Memasuki Lebaran (1 Syawal), kata khatib tadi, kita memasuki bulan biasa lagi, dimana para syetan sudah tidak dibelenggu lagi tangannya. Nah, khatib itu menyimpulkan, kalau kita menyambut Lebaran dengan penuh kegembiraan, pesta, bahkan dengan kemewahan, itu sama halnya dengan para syetan yang juga bergembira karena telah bebas dari belenggu.
Padahal saya, terus terang, menyambut Lebaran ini dengan penuh kegembiraan. Bukannya gembira dengan lepasnya belenggu syetan. Terpikir sedikit pun nggak. Tapi lebih karena Lebaran ini merupakan hari kemenangan, setelah melakukan shaum Ramadhan sebulan penuh, meski tak lengkap melakukan semua amalan-amalan yang disunahkan. Selain itu, saya juga gembira karena bisa bertemu orangtua dan handai taulan, setelah setahun tak berjumpa. Lebih ke budaya ketimuran ketimbang ritual.
Bagaimana menurut Anda?
Memasuki Lebaran (1 Syawal), kata khatib tadi, kita memasuki bulan biasa lagi, dimana para syetan sudah tidak dibelenggu lagi tangannya. Nah, khatib itu menyimpulkan, kalau kita menyambut Lebaran dengan penuh kegembiraan, pesta, bahkan dengan kemewahan, itu sama halnya dengan para syetan yang juga bergembira karena telah bebas dari belenggu.
Padahal saya, terus terang, menyambut Lebaran ini dengan penuh kegembiraan. Bukannya gembira dengan lepasnya belenggu syetan. Terpikir sedikit pun nggak. Tapi lebih karena Lebaran ini merupakan hari kemenangan, setelah melakukan shaum Ramadhan sebulan penuh, meski tak lengkap melakukan semua amalan-amalan yang disunahkan. Selain itu, saya juga gembira karena bisa bertemu orangtua dan handai taulan, setelah setahun tak berjumpa. Lebih ke budaya ketimuran ketimbang ritual.
Bagaimana menurut Anda?
0 Comments:
Post a Comment
<< Home