"Sungai Kan Tempat Buang Sampah!"
AHAD sore (5/6), saya & family melewati Jalan Dewi Sartika Cawang, Jakarta Timur. Ternyata, jalanan sudah tergenang banjir, padahal hari cerah, matahari bersinar terik. Kendaraan pun berjalan perlahan, motorku pun turut "berenang". Tampak air muncul dari belakang kios-kios tempat pembuatan kompor.
Dari laporan RCTI, barulah saya ngeh, banjir itu disebabkan sumbatan sampah di sungai kecil di perkampungan padat itu. Tentu saja, setelah debit air meningkat karena hujan di bagian hulu (daerah Bogor).
Kepada stasiun televisi itu, seorang ibu warga kampung Cawang membenarkan, banjir itu akibat sampah yang menumpuk di sungai, termasuk sampah-sampah kayu, hingga mengakibatkan penyumbatan. Ketika ditanya dari mana sampah itu berasal, ia mengakui bahwa sampah itu sampah mereka juga. Di antara sampah-sampah yang mereka buang, antara lain, kasur bekas dan lemari kayu yang sudah rusak.
"Kenapa Ibu buang sampah di sembarangan di sungai?" tanya sang reporter.
"Sembarangan??? Sungai kan tempat buang sampah!" kata Ibu itu dengan innocent-nya.
"Kalau sudah banjir gini, siapa yang salah?" kejar reporter itu.
"Ya Pak Lurah!" ujar ibu itu, diikuti ibu-ibu lainnya, dengan mantap.
Pak Lurah yang salah, atau orangtua ibu itu yang tak pernah mendidiknya sewaktu kecil, bahwa membuang sampah ke sungai bisa mengakibatkan banjir? Atau malah pemerintah, yang tidak menyediakan cukup sekolah, sehingga semua orang bisa menyadari pentingnya menjaga kebersihan lingkungan?
Sudahlah. Daripada mencari kambing hitam, lebih baik mulai dari diri sendiri dan lingkungan sendiri.
Memilah sampah
Di rumahku berlaku kebiasaan, sampah, sebelum dibuang dipilah-pilah dulu berdasarkan jenisnya. Bukan cuma dua (organik dan anorganik), tapi empat macam.
1. Sampah organik (daun-daunan, kulit pisang dan kulit buah-buahan lainnya, daun pisang, dan sampah-sampah yang hancur terurai dalam tanah) --> langsung dibuang di lubang yang sudah disiapkan.
2. Sampah anorganik yang tak bisa dimanfaatkan lagi, seperti sobekan plastik kemasan, kantong kresek yang kotor, potongan-potongan kertas, dan sampah-sampah kecil lainnya --> dibakar di tanah kosong yang masih banyak terdapat di lingkungan kami, atau dibakar bersama alang-alang bekas tebasan yang sudah kering.
3. Sampah anorganik yang bisa didaurulang, seperti botol bekas minuman kemasan ("aqua"), botol beling, ember bekas, dan bahan-bahan plastik lainnya --> dikemas dalam plastik kresek besar, disimpan di pinggir jalan, untuk kemudian "dijemput" pemulung langganan.
3. "Sampah" kantong kresek bekas yang masih bersih --> dimasukkan dalam kantong kresek besar, lalu diberikan pada tukang sayur di belakang rumah untuk digunakan kembali sebagai kantong belanjaan.
Lain kebiasaan kami, lain tetangga. Meski sudah diterangkan masalah sampah plastik yang tidak bisa diurai dalam tanah, sebagian besar tetangga tetap melakukan pola lama: menumpuk sampah begitu saja di tanah kosong (milik orang lain, yang pemiliknya sendiri tidak tahu).
Malah ada seorang tetangga yang dengan bangganya bilang, "kalau saya gampang aja, sampah tinggal dibuang saja di retakan tanah belakang rumah, biar nutup!"
Ada pula yang mencoba membakarnya, tapi tidak dicermati dulu, sampah itu bisa terbakar atau tidak. Soalnya, ada yang asal bakar. Segala macam sampah, termasuk organik seperti kulit durian yang basah dan sisa sayur-sayuran, dibakar sekaligus. Ya nggak nyala! Kalau sampah organik, dilempar begitu saja ke kebun, suatu hari bisa jadi pupuk tanaman.
Memang, membakar sampah tidak disarankan di perkotaan, apalagi permukiman padat. Tapi mencoba memilah-milahnya sebelum diserahkan ke tukang sampah, nggak ada salahnya kan?
Dari laporan RCTI, barulah saya ngeh, banjir itu disebabkan sumbatan sampah di sungai kecil di perkampungan padat itu. Tentu saja, setelah debit air meningkat karena hujan di bagian hulu (daerah Bogor).
Kepada stasiun televisi itu, seorang ibu warga kampung Cawang membenarkan, banjir itu akibat sampah yang menumpuk di sungai, termasuk sampah-sampah kayu, hingga mengakibatkan penyumbatan. Ketika ditanya dari mana sampah itu berasal, ia mengakui bahwa sampah itu sampah mereka juga. Di antara sampah-sampah yang mereka buang, antara lain, kasur bekas dan lemari kayu yang sudah rusak.
"Kenapa Ibu buang sampah di sembarangan di sungai?" tanya sang reporter.
"Sembarangan??? Sungai kan tempat buang sampah!" kata Ibu itu dengan innocent-nya.
"Kalau sudah banjir gini, siapa yang salah?" kejar reporter itu.
"Ya Pak Lurah!" ujar ibu itu, diikuti ibu-ibu lainnya, dengan mantap.
Pak Lurah yang salah, atau orangtua ibu itu yang tak pernah mendidiknya sewaktu kecil, bahwa membuang sampah ke sungai bisa mengakibatkan banjir? Atau malah pemerintah, yang tidak menyediakan cukup sekolah, sehingga semua orang bisa menyadari pentingnya menjaga kebersihan lingkungan?
Sudahlah. Daripada mencari kambing hitam, lebih baik mulai dari diri sendiri dan lingkungan sendiri.
Memilah sampah
Di rumahku berlaku kebiasaan, sampah, sebelum dibuang dipilah-pilah dulu berdasarkan jenisnya. Bukan cuma dua (organik dan anorganik), tapi empat macam.
1. Sampah organik (daun-daunan, kulit pisang dan kulit buah-buahan lainnya, daun pisang, dan sampah-sampah yang hancur terurai dalam tanah) --> langsung dibuang di lubang yang sudah disiapkan.
2. Sampah anorganik yang tak bisa dimanfaatkan lagi, seperti sobekan plastik kemasan, kantong kresek yang kotor, potongan-potongan kertas, dan sampah-sampah kecil lainnya --> dibakar di tanah kosong yang masih banyak terdapat di lingkungan kami, atau dibakar bersama alang-alang bekas tebasan yang sudah kering.
3. Sampah anorganik yang bisa didaurulang, seperti botol bekas minuman kemasan ("aqua"), botol beling, ember bekas, dan bahan-bahan plastik lainnya --> dikemas dalam plastik kresek besar, disimpan di pinggir jalan, untuk kemudian "dijemput" pemulung langganan.
3. "Sampah" kantong kresek bekas yang masih bersih --> dimasukkan dalam kantong kresek besar, lalu diberikan pada tukang sayur di belakang rumah untuk digunakan kembali sebagai kantong belanjaan.
Lain kebiasaan kami, lain tetangga. Meski sudah diterangkan masalah sampah plastik yang tidak bisa diurai dalam tanah, sebagian besar tetangga tetap melakukan pola lama: menumpuk sampah begitu saja di tanah kosong (milik orang lain, yang pemiliknya sendiri tidak tahu).
Malah ada seorang tetangga yang dengan bangganya bilang, "kalau saya gampang aja, sampah tinggal dibuang saja di retakan tanah belakang rumah, biar nutup!"
Ada pula yang mencoba membakarnya, tapi tidak dicermati dulu, sampah itu bisa terbakar atau tidak. Soalnya, ada yang asal bakar. Segala macam sampah, termasuk organik seperti kulit durian yang basah dan sisa sayur-sayuran, dibakar sekaligus. Ya nggak nyala! Kalau sampah organik, dilempar begitu saja ke kebun, suatu hari bisa jadi pupuk tanaman.
Memang, membakar sampah tidak disarankan di perkotaan, apalagi permukiman padat. Tapi mencoba memilah-milahnya sebelum diserahkan ke tukang sampah, nggak ada salahnya kan?
2 Comments:
Kang, click deh blog yg ada di list Ummi namanya Syafarindyah.
Ada di postinganya membahas ttg system sampah di Jepang, aduh ngiri euy...jauh banget sama Indonesia.
Gimanah nih pak Sutiyoso, yg diurusin cuman proyek2 besar kayak buzway n monorail, masalah sampah paling belakang.
Sampah itu hasil budaya. Budaya dibentuk dari perilaku. Perilaku disusun dari sikap. Sikap dihasilkan dari mental.
Sampah itu hasil mental yang tak suka bersih...
Post a Comment
<< Home