Ci Luk Ba
Hari Minggu kemarin (11/7), Sarno, Kardi dan Fajar (Ucep) --my CNI fellas-- main ke rumahku di Sasakpanjang. Ucep, adik iparku alias omnya Fay, kerapkali datang ke sini. Jadi, dialah penunjuk jalannya.
Meski tidak terang-terangan mengakui kelelahan, roman muka mereka sudah mengatakannya. Memang, perjalanan Jakarta-Sasakpanjang menggunakan sepeda motor, tidak bisa dianggap enteng. Apalagi bagi mereka yang tidak terbiasa.
Begitu sampai di halaman rumah, mereka dipersilakan masuk. Tapi mereka lebih memilih duduk-duduk di teras. "Enak di sini, sekalian ngadem," kata Kardi. "Ya beginilah rumah kami. Benar-benar rumah BTN 'tipe ci luk ba'", kataku pada mereka, bukan berbasa-basi.
Kenapa disebut rumah "tipe ci luk ba"? Menurut Crown Agency Manager HM Ikhwan, rumah "tipe ci luk ba" adalah rumah yang super kecil (bisa mengira-ngira kan tipe berapa?), sehingga para penghuni di dalamnya sering berpapasan, bahkan sering bertabrakan, karena akses jalannya dari itu ke itu, alias serba dekat ke mana-mana: ke kamar tidur dekat, ke ruang keluarga dekat, juga ke toilet/kamar mandi dekat. Tanpa dapur. Jadi, dapur bikin sendiri (benar-benar sendiri, bukan tukang!).
Jadi, kalau anggota keluarga beraktivitas di dalam rumah, akan terjadi: tatap muka lagi, tatap muka lagi, alias ci-luk...baaa, ci-luk...baaa, seperti mencandai Fay sewaktu masih bayi. :D
Tapi, biar tinggal di rumah tipe ci luk ba, menurutku ada beberapa keuntungan:
1. Home Sweet home. Rumah sendiri, nyicil sendiri, sehingga kalau sudah lunas, jadi milik sendiri. Bukan numpang di rumah mertua (buat apa megah dan bagus kalau itu milik mertua, betul nggak?)
2. Investasi. Rumahnya memang kecil, tapi tanahnya cukup luas: 100 meter persegi. Bahkan di perumahan mana pun belum pernah ada rumah tipe 21/100 (bukan kelebihan tanah, tapi developernya menyediakan tanah memang segitu). Ini saya anggap sebagai investasi, karena kalau ada rezeki, kami bisa membangunnya menjadi rumah layak, misalnya jadi dua lantai, masing-masing 45 m2 di lantai bawah dan atas. Rumah lama, dibongkar aja!
3. Bebas. Namanya juga di rumah sendiri, mau ngapa-ngapain juga bebas. Kalau Fay mau nyoret-nyoret tembok juga nggak ada yang marah, paling ketawa. Mau paku sana-sini atau vermak sana-sini juga nggak perlu minta izin sama yang punya.
4. Bebas sewa. Setiap bulan, nggak bayar uang sewa yang besarnya sampai ratusan ribu per bulan, kalau menyewa di Jakarta untuk tipe yang sama. Tapi cukup bayar kurang dari Rp 100.000 per bulan untuk masa 20 tahun!
5. Bebas polusi. Berbeda dengan Jakarta, di sini boleh dibilang bebas polusi, karena di mana-mana pepohonan. Maklum, di kampung.
6. Bebas banjir. Jelas bebas banjir, karena lokasinya berada di ketinggian, kira-kira seratusan meter di atas ketinggian Jakarta. Jadi, kalau di sini banjir seperti Jakarta, mungkin Jakarta sudah tenggelam.
7. Bebas macet. Tentu saja tak ada kemacetan, wong di kampung. Paling kemacetan terjadi pada pompa air kalau lagi ngadat atau mesin cuci, yang memang sudah usang.
8. Terlalu banyak untuk disebutkan satu per satu. :P
Tapi, mereka yang tinggal di sini, harus kuat fisik-mental, karena jauh dari Jakarta, dan berada di tempat yang cukup terpencil --meski secara geografis jaraknya kurang dari 40 kilometer dari Ibukota;
1. Setiap hari harus ngantor pakai sepeda motor, minimal sampai stasiun terdekat (Citayam), karena tanpa motor, kalau pulang malam sudah kehabisan angkot. Tarif ojek, apalagi malam, terlebih lagi kalau hujan, cukup "mencekik": 10-15 ribu sekali jalan. Ada mobil, apalagi bersuspensi empuk, lebih baik lagi.
2. Waktu tempuh ke Jakarta (Kalibata, Jaksel) di pagi hari 1,5 jam (motor) dan 2,5 jam (mobil), karena macet. Tapi kalau malam hari, lancarrr. Tapi, dari Citayam, jalanan mulai kurang bersahabat, sehingga kita perlu bersabar dengan menjalankan kendaraan pelan-pelan.
3. Jangan begitu saja percaya omongan orang tentang tempat-tempat angker yang banyak dilewati. Karena kalau omongan orang itu dipercayai, bahkan diyakini, dijamin deh, nggak bakanan betah tinggal di sini. Saya bahkan suka bilang: "Tetangga di sini banyak (padahal rumah-rumahnya masih pada kosong), di mana-mana ada. Tapi nggak keliatan aja". Apalagi di gerbang kompleks perumahan saya diselamatdatangi oleh deretan kuburan, karena memang perumahan ini bertetangga dengan pekuburan umum. Hiiii. :))
Anyway, RUMAHKU ISTANAKU.
Meski tidak terang-terangan mengakui kelelahan, roman muka mereka sudah mengatakannya. Memang, perjalanan Jakarta-Sasakpanjang menggunakan sepeda motor, tidak bisa dianggap enteng. Apalagi bagi mereka yang tidak terbiasa.
Begitu sampai di halaman rumah, mereka dipersilakan masuk. Tapi mereka lebih memilih duduk-duduk di teras. "Enak di sini, sekalian ngadem," kata Kardi. "Ya beginilah rumah kami. Benar-benar rumah BTN 'tipe ci luk ba'", kataku pada mereka, bukan berbasa-basi.
Kenapa disebut rumah "tipe ci luk ba"? Menurut Crown Agency Manager HM Ikhwan, rumah "tipe ci luk ba" adalah rumah yang super kecil (bisa mengira-ngira kan tipe berapa?), sehingga para penghuni di dalamnya sering berpapasan, bahkan sering bertabrakan, karena akses jalannya dari itu ke itu, alias serba dekat ke mana-mana: ke kamar tidur dekat, ke ruang keluarga dekat, juga ke toilet/kamar mandi dekat. Tanpa dapur. Jadi, dapur bikin sendiri (benar-benar sendiri, bukan tukang!).
Jadi, kalau anggota keluarga beraktivitas di dalam rumah, akan terjadi: tatap muka lagi, tatap muka lagi, alias ci-luk...baaa, ci-luk...baaa, seperti mencandai Fay sewaktu masih bayi. :D
Tapi, biar tinggal di rumah tipe ci luk ba, menurutku ada beberapa keuntungan:
1. Home Sweet home. Rumah sendiri, nyicil sendiri, sehingga kalau sudah lunas, jadi milik sendiri. Bukan numpang di rumah mertua (buat apa megah dan bagus kalau itu milik mertua, betul nggak?)
2. Investasi. Rumahnya memang kecil, tapi tanahnya cukup luas: 100 meter persegi. Bahkan di perumahan mana pun belum pernah ada rumah tipe 21/100 (bukan kelebihan tanah, tapi developernya menyediakan tanah memang segitu). Ini saya anggap sebagai investasi, karena kalau ada rezeki, kami bisa membangunnya menjadi rumah layak, misalnya jadi dua lantai, masing-masing 45 m2 di lantai bawah dan atas. Rumah lama, dibongkar aja!
3. Bebas. Namanya juga di rumah sendiri, mau ngapa-ngapain juga bebas. Kalau Fay mau nyoret-nyoret tembok juga nggak ada yang marah, paling ketawa. Mau paku sana-sini atau vermak sana-sini juga nggak perlu minta izin sama yang punya.
4. Bebas sewa. Setiap bulan, nggak bayar uang sewa yang besarnya sampai ratusan ribu per bulan, kalau menyewa di Jakarta untuk tipe yang sama. Tapi cukup bayar kurang dari Rp 100.000 per bulan untuk masa 20 tahun!
5. Bebas polusi. Berbeda dengan Jakarta, di sini boleh dibilang bebas polusi, karena di mana-mana pepohonan. Maklum, di kampung.
6. Bebas banjir. Jelas bebas banjir, karena lokasinya berada di ketinggian, kira-kira seratusan meter di atas ketinggian Jakarta. Jadi, kalau di sini banjir seperti Jakarta, mungkin Jakarta sudah tenggelam.
7. Bebas macet. Tentu saja tak ada kemacetan, wong di kampung. Paling kemacetan terjadi pada pompa air kalau lagi ngadat atau mesin cuci, yang memang sudah usang.
8. Terlalu banyak untuk disebutkan satu per satu. :P
Tapi, mereka yang tinggal di sini, harus kuat fisik-mental, karena jauh dari Jakarta, dan berada di tempat yang cukup terpencil --meski secara geografis jaraknya kurang dari 40 kilometer dari Ibukota;
1. Setiap hari harus ngantor pakai sepeda motor, minimal sampai stasiun terdekat (Citayam), karena tanpa motor, kalau pulang malam sudah kehabisan angkot. Tarif ojek, apalagi malam, terlebih lagi kalau hujan, cukup "mencekik": 10-15 ribu sekali jalan. Ada mobil, apalagi bersuspensi empuk, lebih baik lagi.
2. Waktu tempuh ke Jakarta (Kalibata, Jaksel) di pagi hari 1,5 jam (motor) dan 2,5 jam (mobil), karena macet. Tapi kalau malam hari, lancarrr. Tapi, dari Citayam, jalanan mulai kurang bersahabat, sehingga kita perlu bersabar dengan menjalankan kendaraan pelan-pelan.
3. Jangan begitu saja percaya omongan orang tentang tempat-tempat angker yang banyak dilewati. Karena kalau omongan orang itu dipercayai, bahkan diyakini, dijamin deh, nggak bakanan betah tinggal di sini. Saya bahkan suka bilang: "Tetangga di sini banyak (padahal rumah-rumahnya masih pada kosong), di mana-mana ada. Tapi nggak keliatan aja". Apalagi di gerbang kompleks perumahan saya diselamatdatangi oleh deretan kuburan, karena memang perumahan ini bertetangga dengan pekuburan umum. Hiiii. :))
Anyway, RUMAHKU ISTANAKU.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home