Ngabuburit Tempo Dulu
Zaman saya SD, sekitar pertengahan sampai akhir 1970-an, ngabuburit (menunggu waktu buka puasa) kebanyakan dihabiskan di Alun-alun. Waktu itu, saya masih tinggal di Majalaya, 27 kilometer tenggara Kota Bandung.
Alun-alun Majalaya seluas satu hektar --yang dikelilingi Kantor Kecamatan (timur), Masjid Agung (barat), SD Negeri 1 (selatan) dan pertokoan (utara), sebagaimana kota kecamatan di Indonesia pada umumnya-- sore-sore gini, dipenuhi anak-anak yang menunggu waktu buka. Maklum, ngabuburit di abad itu belum mengenal permainan seperti anak-anak sekarang: tamiya, video game, play station, atau jalan-jalan ke mal.
Anak-anak generasi 1970-an, cukup bermain kucing-kucingan, main/mengadu gambar, nonton tukang obat + atraksi sulap dan akrobat, nonton tukang mainan (karena kalau beli, nggak punya duit), nonton tukang gambar tato-tatoan, nonton tukang gambar sablon kaos, atau tukang sumpit (dengan biji kacang ijo sebagai pelurunya). Syukur-syukur kalau lagi ada pasar malam, anak-anak bisa naik kincir (bianglala, kalau di Dufan), atau ombak banyu (komidi putar yang digerakkan tenaga manusia). Cukup bayar Rp 25, hati terhibur. :D
Ironisnya, selama Ramadhan saat itu, banyak tukang lotere --semacam "Pengantar Ilmu Judi"-- yang nongkrong di pojokan Alun-alun. Padahal, anak-anak yang ikut masang lotere itu lagi berpuasa, setidaknya lagi belajar berpuasa. Menunggu buka sambil main lotere? Huh!
Alun-alun Majalaya seluas satu hektar --yang dikelilingi Kantor Kecamatan (timur), Masjid Agung (barat), SD Negeri 1 (selatan) dan pertokoan (utara), sebagaimana kota kecamatan di Indonesia pada umumnya-- sore-sore gini, dipenuhi anak-anak yang menunggu waktu buka. Maklum, ngabuburit di abad itu belum mengenal permainan seperti anak-anak sekarang: tamiya, video game, play station, atau jalan-jalan ke mal.
Anak-anak generasi 1970-an, cukup bermain kucing-kucingan, main/mengadu gambar, nonton tukang obat + atraksi sulap dan akrobat, nonton tukang mainan (karena kalau beli, nggak punya duit), nonton tukang gambar tato-tatoan, nonton tukang gambar sablon kaos, atau tukang sumpit (dengan biji kacang ijo sebagai pelurunya). Syukur-syukur kalau lagi ada pasar malam, anak-anak bisa naik kincir (bianglala, kalau di Dufan), atau ombak banyu (komidi putar yang digerakkan tenaga manusia). Cukup bayar Rp 25, hati terhibur. :D
Ironisnya, selama Ramadhan saat itu, banyak tukang lotere --semacam "Pengantar Ilmu Judi"-- yang nongkrong di pojokan Alun-alun. Padahal, anak-anak yang ikut masang lotere itu lagi berpuasa, setidaknya lagi belajar berpuasa. Menunggu buka sambil main lotere? Huh!
posted by Tian Arief at 4:50 PM
2 Comments:
Hehehehe..mas Tian, kayanya yang serba berbumbu lotere itu dah ada dari jaman dulu yaa...sekarang apa2 dibikin undian, doorprize, hadiah, de el el.Kalo dulu ngabuburit di Solo, masih bisa denger itu tuh..meriam kraton peninggalan belanda.. Bunyinya dull...gitu, nah kalo dah denger langsung deh pada masuk ke dalem rumah. Tapi sekarang meriamnya dah pensiun..hehhehe
Wah..seru ya...dengan Rp.25 dapat banyak gitu..:D
Keinget deh dulu Rp.25 dah dapat es cendol segelas gede....
Bunda Shafiya
Post a Comment
<< Home