Kost di Kantor
Sudah lama ruangan kantor saya (Gatra.com) dijadikan tempat kost. Di pojok ruangan, rekan saya, Dani, memboyong kasur lengkap dengan bantal dan spreinya untuk menginap manakala dia harus kerja lembur jika sudah deadline majalah. Kasur itu juga sering dipakai awak Gatra lain yang juga menginap di kantor. Setiap Jumat pagi, saya mendapati kantor saya masih gelap, dan sesosok tubuh meringkuk di bawah meja pojok ruangan, beralaskan kasur itu. Memang, tugas kewartawanan sangat memungkinkan para wartawan bekerja hingga jauh malam, bahkan dinihari, untuk mengejar tenggat waktu (deadline) penerbitan. Sedangkan tugas saya sehari-hari masih memungkinkan diselesaikan tanpa harus menginap. Saya sendiri pernah menginap di ruangan kantor saya, ketika akan berangkat mendaki Gunung Gede.
Selain dipakai menginap, ruangan kantor saya juga sering digunakan sebagai mushalla. Padahal, Gatra punya mushalla cukup representatif di halaman belakang. Tapi orang sering malas turun dari lantai 2 untuk shalat, melainkan cukup menggelar sajadah di pojok ruangan saya (tempat menaruh kasur tadi), lalu shalat. Kenyataannya, bukan hanya orang redaksi yang shalat di sini, melainkan dari bagian lainnya, bahkan boleh dibilang, semua orang.
Pengalihfungsian kantor jadi tempat kost atau mushallah, tidak masalah bagi saya, karena tidak mengganggu pekerjaan sehari-hari. Yang sangat mengganggu, kalau kantor dijadikan lahan empuk bagi perokok. Seperti kemarin, saat seorang teman dari Sekretariat Redaksi, S, berniat merokok di siang hari. Padahal, saya sering ketemu dia di mushalla kalau shalat, tapi ternyata nggak puasa. Begitu di duduk di samping saya mau menyalakan sebatang rokok di mulutnya, dengan segera saya mengusirnya agar merokok jauh-jauh. "Kenapa?" tanyanya seperti tidak mengerti. Dengan tegas saya jawab, "saya tidak mau menghirup asap rokok!"
Selain dipakai menginap, ruangan kantor saya juga sering digunakan sebagai mushalla. Padahal, Gatra punya mushalla cukup representatif di halaman belakang. Tapi orang sering malas turun dari lantai 2 untuk shalat, melainkan cukup menggelar sajadah di pojok ruangan saya (tempat menaruh kasur tadi), lalu shalat. Kenyataannya, bukan hanya orang redaksi yang shalat di sini, melainkan dari bagian lainnya, bahkan boleh dibilang, semua orang.
Pengalihfungsian kantor jadi tempat kost atau mushallah, tidak masalah bagi saya, karena tidak mengganggu pekerjaan sehari-hari. Yang sangat mengganggu, kalau kantor dijadikan lahan empuk bagi perokok. Seperti kemarin, saat seorang teman dari Sekretariat Redaksi, S, berniat merokok di siang hari. Padahal, saya sering ketemu dia di mushalla kalau shalat, tapi ternyata nggak puasa. Begitu di duduk di samping saya mau menyalakan sebatang rokok di mulutnya, dengan segera saya mengusirnya agar merokok jauh-jauh. "Kenapa?" tanyanya seperti tidak mengerti. Dengan tegas saya jawab, "saya tidak mau menghirup asap rokok!"
0 Comments:
Post a Comment
<< Home