Formalitas atau Kebohongan?
Kemarin (12/10), saya sempat sedikit diskusi dengan seorang teman akrab semasa kuliah (laki-laki). Dia menyoal masalah ketulusan dan formalitas. Dia bilang, terus terang merasa "gerah" dengan segala formalitas di masyarakat kita. Masalah minta maaf sebelum Ramadhan tiba, misalnya. Menurutnya, saya tak usah minta maaf padanya, sebab dari awal segala kesalahanku sudah dia maafkan. Yang penting ketulusan, bukan formalitas. Terus dia bertanya, apa ada yang aneh dari sikapku?
Saya jawab, sikapnya tidaklah salah. Tapi, saya katakan, sebagai teman akrab, saya bisa saja bicara saklek dengannya, bahkan dengan bahasa kasar untuk ukuran etika pada umumnya. Tidak jadi masalah. Namanya juga teman akrab. Lalu, bagaimana kalau dengan tetangga? Tentu bahasa formalitas yang jadi acuan. Bahkan, dengan pasangan kita sendiri pun, kita perlu saling menjaga perasaan. Kalau perlu, melakukan "kebohongan putih" (yang sebenarnya bukanlah kebohongan). Seperti, "Enak ya masakannya" (padahal, sebaliknya). Dengan anak sendiri, "Bagus sekali gambarnya", dan lain-lain. Sepanjang formalitas itu lahir dari hati yang tulus, demi kebaikan bersama, kenapa tidak? Betul, nggak? Misalnya dengan tetangga. Meskipun sekadar berbasa-basi (semua juga tau), "Mau ke mana Pak (atau Bu)?" *tapi, katanya, jangan sekali-kali pertanyaan ini dilontarkan kepada orang Barat, sebab dia akan ngedumel, "It is none of your business!" :P* Bagi saya, justru itulah salah satu bentuk silaturahim bertetangga paling minimal. Atau satu senyuman saja --meski kondisi hati sedang runyam-- sudah mewakili segalanya.
Jadi, saya kira, bagi mereka yang sudah menjadi bagian masyarakat --karena sudah memiliki keluarga sendiri, menjadi seorang kepala keluarga ataupun ibu rumahtangga-- formalitas ini masih perlu dijaga. Tentu saja, ketulusan tetap nomor satu. Formalitas yang lahir dari ketulusan hati, itu perlu!
Bagi netters sekalian, SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH SHAUM RAMADHAN 1425 H. MOHON MAAF ATAS KESALAHAN. TAQABBALALLAHU MINNA WA MINKUM. TAQABBAL YA KARIM. :)
Saya jawab, sikapnya tidaklah salah. Tapi, saya katakan, sebagai teman akrab, saya bisa saja bicara saklek dengannya, bahkan dengan bahasa kasar untuk ukuran etika pada umumnya. Tidak jadi masalah. Namanya juga teman akrab. Lalu, bagaimana kalau dengan tetangga? Tentu bahasa formalitas yang jadi acuan. Bahkan, dengan pasangan kita sendiri pun, kita perlu saling menjaga perasaan. Kalau perlu, melakukan "kebohongan putih" (yang sebenarnya bukanlah kebohongan). Seperti, "Enak ya masakannya" (padahal, sebaliknya). Dengan anak sendiri, "Bagus sekali gambarnya", dan lain-lain. Sepanjang formalitas itu lahir dari hati yang tulus, demi kebaikan bersama, kenapa tidak? Betul, nggak? Misalnya dengan tetangga. Meskipun sekadar berbasa-basi (semua juga tau), "Mau ke mana Pak (atau Bu)?" *tapi, katanya, jangan sekali-kali pertanyaan ini dilontarkan kepada orang Barat, sebab dia akan ngedumel, "It is none of your business!" :P* Bagi saya, justru itulah salah satu bentuk silaturahim bertetangga paling minimal. Atau satu senyuman saja --meski kondisi hati sedang runyam-- sudah mewakili segalanya.
Jadi, saya kira, bagi mereka yang sudah menjadi bagian masyarakat --karena sudah memiliki keluarga sendiri, menjadi seorang kepala keluarga ataupun ibu rumahtangga-- formalitas ini masih perlu dijaga. Tentu saja, ketulusan tetap nomor satu. Formalitas yang lahir dari ketulusan hati, itu perlu!
Bagi netters sekalian, SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH SHAUM RAMADHAN 1425 H. MOHON MAAF ATAS KESALAHAN. TAQABBALALLAHU MINNA WA MINKUM. TAQABBAL YA KARIM. :)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home