Nasi Goreng
Komplek perumahan kami mulai mentradisikan lomba memasak nasi goreng bapak-bapak, setiap memperingati HUT Ke-59 Kemerdekaan RI alias "Tujuh Belasan". Ini perlombaan yang kedua kalinya. Minggu malam sekitar ba'da isya, saya dan sekitar 20 bapak lainnya sudah siap-siap di lapangan volley --satu-satunya lapangan terbuka yang sudah rapi diplester semen. Tak lupa membawa perlengkapan "perang"; kompor minyak tanah, wajan + sodetan, cobek + ulekan, pisau dapur, talenan, sendok-garpu, piring, bumbu-bumbu dasar, minyak goreng dan telor ayam. Tak lupa pula, membawa nasi putih. Sebab tanpa nasi, bukan nasi goreng namanya.:P
Pak Hartono dan Pak Johnson, tetangga yang jadi anggota kelompok saya, memercayakan saya menjadi juru masaknya. Mereka bersedia jadi asisten yang menangani urusan potong-memotong bawang dan menghias nasi goreng (finishing). Semuanya ada sepuluh kelompok. Masing-masing beranggotakan tiga orang.
Lomba pun dimulai, dengan waktu pengerjaan sekitar setengah jam.
Saya kira, memasaknya sih biasa --karena hampir tiap pagi kalau tidak ada makanan, saya suka menggoreng nasi sendiri-- tapi suporternya itu yang luar biasa. Terutama ibu-ibu. Merasa lebih pakar dalam urusan masak-memasak, mereka sering menyela, kurang ini, kurang itulah. Jangan begini, jangan begitu. Pokoknya lebih seru penonton ketimbang peserta. :)
Setelah selesai dihias (hanya nasi goreng kami yang berhiaskan bendera merah-putih mungil), sepiring nasi goreng istimewa pun siap dinilai juri. Tim juri terdiri dari tiga orang ibu, yang para suami mereka tidak diikutkan dalam lomba, karena takut mempengaruhi obyektivitas penilaian.
Ternyata, kami mendapat predikat juara kedua (meski saat mengerjakan sama sekali tak berharap juara, karena tim lain tampak lebih "wah" penampilannya). Tapi belum tentu soal rasa. Ada yang terlalu keasinan, ada yang kemanisan. Ada juga yang kurang garam.;) Menurut bocoran, ada yang rasanya enak, hiasannya bagus, tapi urung jadi juara. Kenapa? Ternyata, hiasannya yang bagus itu bukan bikinan bapak-bapak, melainkan bikinan istrinya yang sudah disiapkan sebelumnya!
Memang, inti peringatan 17-an secara sederhana adalah semangat kejuangan disertai kejujuran dan sportivitas. Betul, nggak? Merdeka!
Pak Hartono dan Pak Johnson, tetangga yang jadi anggota kelompok saya, memercayakan saya menjadi juru masaknya. Mereka bersedia jadi asisten yang menangani urusan potong-memotong bawang dan menghias nasi goreng (finishing). Semuanya ada sepuluh kelompok. Masing-masing beranggotakan tiga orang.
Lomba pun dimulai, dengan waktu pengerjaan sekitar setengah jam.
Saya kira, memasaknya sih biasa --karena hampir tiap pagi kalau tidak ada makanan, saya suka menggoreng nasi sendiri-- tapi suporternya itu yang luar biasa. Terutama ibu-ibu. Merasa lebih pakar dalam urusan masak-memasak, mereka sering menyela, kurang ini, kurang itulah. Jangan begini, jangan begitu. Pokoknya lebih seru penonton ketimbang peserta. :)
Setelah selesai dihias (hanya nasi goreng kami yang berhiaskan bendera merah-putih mungil), sepiring nasi goreng istimewa pun siap dinilai juri. Tim juri terdiri dari tiga orang ibu, yang para suami mereka tidak diikutkan dalam lomba, karena takut mempengaruhi obyektivitas penilaian.
Ternyata, kami mendapat predikat juara kedua (meski saat mengerjakan sama sekali tak berharap juara, karena tim lain tampak lebih "wah" penampilannya). Tapi belum tentu soal rasa. Ada yang terlalu keasinan, ada yang kemanisan. Ada juga yang kurang garam.;) Menurut bocoran, ada yang rasanya enak, hiasannya bagus, tapi urung jadi juara. Kenapa? Ternyata, hiasannya yang bagus itu bukan bikinan bapak-bapak, melainkan bikinan istrinya yang sudah disiapkan sebelumnya!
Memang, inti peringatan 17-an secara sederhana adalah semangat kejuangan disertai kejujuran dan sportivitas. Betul, nggak? Merdeka!
0 Comments:
Post a Comment
<< Home