Nostalgia Pamulang
Seorang teman baru di jaringan kabel alias "online buddy" kaget, karena saya cukup mengenal daerah Pamulang tempat tinggalnya. Memang, Pamulang pernah jadi bagian hidup saya, tujuh tahun lalu, saat memulai hidup baru bersama istri, setelah tinggal dengan mertua.
Saat istri saya hamil 2 bulan, kami menempati sebuah rumah tipe 54 dengan luas tanah 130 m2 --berhadapan dengan taman segitiga yang asri di Vila Pamulang. Setelah tujuh bulan tinggal di sana, kondisi istri saya yang hamil tua (kini anak kami hampir berusia 7 tahun), memaksa kami kembali ke rumah mertua. Biasa, biar lebih memudahkan pengawasan, karena ada ibunya. Soalnya, selama di Pamulang, sepanjang hari istri ditinggal sendiri di rumah.
Begitu anak kami berusia 2 tahun, kami tidak kembali ke Pamulang, tapi menempati sebuah rumah RSS tipe 21/100 di Sasak Panjang Permai, Bojonggede --yang lokasinya "jauh dari peradaban". Lho, kenapa?
Ada beberapa alasan yang membuat kami membuat keputusan itu. Yang paling utama: rumah itu sekadar pinjaman dari kakak saya alias bukan milik sendiri. Jadi, meski kondisinya --menurut anggapan saya-- terbilang mewah, dengan lingkungan sosial khas perkotaan: lu lu, gue gue, rumah itu tetap tidak serasa sebagai home sweet home.
Kami berharap, meski rumah sekarang belum bisa dibilang sebagai hunian layak, suatu saat, dengan luas tanahnya yang cukup luas, bahkan kelewat luas untuk tipe rumah sekecil itu, kami bisa membangun rumah layak huni sesuai impian yang ada di benak kami (tentu saja mengacu berbagai referensi, termasuk buku-buku tentang rumah mungil menarik, yang kami dapatkan di toko buku). Kalau tahun ini belum terwujud, mudah-mudahan tahun depan. Kalau belum juga, entah kapan, yang penting, jangan pernah berhenti bermimpi.
Saat istri saya hamil 2 bulan, kami menempati sebuah rumah tipe 54 dengan luas tanah 130 m2 --berhadapan dengan taman segitiga yang asri di Vila Pamulang. Setelah tujuh bulan tinggal di sana, kondisi istri saya yang hamil tua (kini anak kami hampir berusia 7 tahun), memaksa kami kembali ke rumah mertua. Biasa, biar lebih memudahkan pengawasan, karena ada ibunya. Soalnya, selama di Pamulang, sepanjang hari istri ditinggal sendiri di rumah.
Begitu anak kami berusia 2 tahun, kami tidak kembali ke Pamulang, tapi menempati sebuah rumah RSS tipe 21/100 di Sasak Panjang Permai, Bojonggede --yang lokasinya "jauh dari peradaban". Lho, kenapa?
Ada beberapa alasan yang membuat kami membuat keputusan itu. Yang paling utama: rumah itu sekadar pinjaman dari kakak saya alias bukan milik sendiri. Jadi, meski kondisinya --menurut anggapan saya-- terbilang mewah, dengan lingkungan sosial khas perkotaan: lu lu, gue gue, rumah itu tetap tidak serasa sebagai home sweet home.
Kami berharap, meski rumah sekarang belum bisa dibilang sebagai hunian layak, suatu saat, dengan luas tanahnya yang cukup luas, bahkan kelewat luas untuk tipe rumah sekecil itu, kami bisa membangun rumah layak huni sesuai impian yang ada di benak kami (tentu saja mengacu berbagai referensi, termasuk buku-buku tentang rumah mungil menarik, yang kami dapatkan di toko buku). Kalau tahun ini belum terwujud, mudah-mudahan tahun depan. Kalau belum juga, entah kapan, yang penting, jangan pernah berhenti bermimpi.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home