Cak Munir
Beberapa jam lalu, saya dikejutkan kabar meninggalnya Munir SH, mantan Ketua Kontras, yang kini mengepalai Direktur Eksekutif Imparsial. Penyebab pasti kematian lelaki kelahiran Malang, 8 Desember 1965 itu, dalam pesawat tujuan Bandara Schipol Amsterdam Belanda, belum diketahui. Masih menunggu otopsi tim dokter Belanda.
Saya teringat pertemuan pertama dengan Arek Malang yang dikenal pemberani itu (di negara ini, orang sipil mana sih yang berani melawan Kopassus?). Waktu itu, saya masih bekerja sebagai reporter harian Berita Yudha pada 1996, yang ditugaskan mewawancarai Munir --waktu itu masih sebagai staf YLBHI-- mengenai masalah kekerasan aparat (militer) terhadap orang sipil.
Ternyata, kesan pertama saya, ini orang kok begitu berani bicara soal militer, padahal saat itu zaman Orde Baru --saat kaum militer begitu dominan. "Kalau ada yang bermasalah dengan aparat militer, saya bersedia melakukan advokasi," katanya dengan penuh keyakinan.
Benar saja. Setahun kemudian, suami Suciwati dan ayah Sultan Alif Allende itu jadi bahan pembicaraan, karena berani mengungkap penculikan aktivis oleh kalangan militer. Saya, yang waktu itu bekerja di Majalah Interview, ditugaskan mewawancarainya seputar masalah pribadi dan keluarganya.
Suatu siang, saya dan rekan fotografer, Yitno, menemui Munir dan keluarganya di rumahnya yang sederhana (milik YLBHI) di kawasan Kebon Nanas, Jakarta Timur. Tak ada yang istimewa di rumah itu selain "hiasan" sebuah rak buku rotan ala anak kost, berisi buku-buku koleksinya, seputar hukum dan HAM, serta sebuah akuarium berisi ikan arowana.
Kenapa berani-beraninya melawan militer, padahal dia bukan apa-apa? Apa jawabnya? Kira-kira dia bilang begini: "Masalah ajal, kalau sudah saatnya, semua orang pasti mati." Tapi, ternyata Allah SWT berkehendak lain. Ia ditemukan tidak bangun lagi di kursinya, sebuah pesawat Garuda Indonesia bernomor penerbangan 974, saat hendak menuntut ilmu di universitas terkemuka di kota Utrecht, Belanda. Selamat jalan menuju keabadian, Cak Munir. Innalillahi wainnailaihi rojiun.
Saya teringat pertemuan pertama dengan Arek Malang yang dikenal pemberani itu (di negara ini, orang sipil mana sih yang berani melawan Kopassus?). Waktu itu, saya masih bekerja sebagai reporter harian Berita Yudha pada 1996, yang ditugaskan mewawancarai Munir --waktu itu masih sebagai staf YLBHI-- mengenai masalah kekerasan aparat (militer) terhadap orang sipil.
Ternyata, kesan pertama saya, ini orang kok begitu berani bicara soal militer, padahal saat itu zaman Orde Baru --saat kaum militer begitu dominan. "Kalau ada yang bermasalah dengan aparat militer, saya bersedia melakukan advokasi," katanya dengan penuh keyakinan.
Benar saja. Setahun kemudian, suami Suciwati dan ayah Sultan Alif Allende itu jadi bahan pembicaraan, karena berani mengungkap penculikan aktivis oleh kalangan militer. Saya, yang waktu itu bekerja di Majalah Interview, ditugaskan mewawancarainya seputar masalah pribadi dan keluarganya.
Suatu siang, saya dan rekan fotografer, Yitno, menemui Munir dan keluarganya di rumahnya yang sederhana (milik YLBHI) di kawasan Kebon Nanas, Jakarta Timur. Tak ada yang istimewa di rumah itu selain "hiasan" sebuah rak buku rotan ala anak kost, berisi buku-buku koleksinya, seputar hukum dan HAM, serta sebuah akuarium berisi ikan arowana.
Kenapa berani-beraninya melawan militer, padahal dia bukan apa-apa? Apa jawabnya? Kira-kira dia bilang begini: "Masalah ajal, kalau sudah saatnya, semua orang pasti mati." Tapi, ternyata Allah SWT berkehendak lain. Ia ditemukan tidak bangun lagi di kursinya, sebuah pesawat Garuda Indonesia bernomor penerbangan 974, saat hendak menuntut ilmu di universitas terkemuka di kota Utrecht, Belanda. Selamat jalan menuju keabadian, Cak Munir. Innalillahi wainnailaihi rojiun.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home