Sakit
Babak I
Ini sebagian tingkah polah tetangga di lingkungan saya. Sabtu pagi, sekitar pukul 06.00, di depan rumah ada ribut-ribut. Tetangga depan rumah, L, rumahnya digedor-gedor tetangga lainnya, N.
Rupanya N, yang mengutangkan uangnya pada L sebesar Rp 2,5 juta beberapa bulan lalu, sudah kehilangan kesabaran. Sambil menenteng senapan angin berkaliber besar, dia melabrak L, mantan tukang ojek yang kini jadi pengangguran.
Insiden itu pun terjadi. L yang lari ketakutan ditembak mata kakinya, hingga berdarah-darah. Tak cukup itu, satu pukulan popor senapan angin N, yang berprofesi sebagai satpam sebuah restoran, mendarat di perut L yang kurus kering itu.
L, yang ternyata punya utang di beberapa tetangga lainnya pun, digelandang ke rumah Ketua RT. Akhirnya, polisi pun dilibatkan. L, sambil terpincang-pincang, dibawa ke kantor Polsek.
Babak II
Sekitar pukul 11.00, A, istri L, rupanya baru pulang dari kantor polisi menjenguk suaminya, setelah berjualan sayur keliling kampung sambil menggendong bayinya sejak pagi buta.
Melihat kondisi suaminya, jelas A stres, bahkan kelewat stres. Hingga ia mengalami kesurupan (trance). Dalam kondisi bawah sadarnya, ia mengoceh bahwa ia tidak terima suaminya diperlakukan demikian. "Si Lani memang busuk, tapi saya tidak terima kalau sampai ditembak," serunya.
Babak III
Akhirnya diperoleh kabar, L dibawa ke rumah sakit, untuk dioperasi kakinya. N mau bertanggung jawab membayar biaya pengobatan L, sekaligus merelakan utangnya yang Rp 2,5 juta itu (karena "sudah puas menembak," katanya). Bahkan, N, bersama pengurus RT menjemput L dengan angkot dan mengantarkannya ke rumahnya.
Yah, itulah cermin masyarakat kita yang sakit. Utang yang masuk perkara perdata, diselesaikan dengan penembakan, yang sebenarnya bisa dipidanakan. Masih untung keluarga korban tidak balik memperkarakannya ke polisi. Uang hilang, hubungan bertetangga pun jadi renggang.
Saya jadi teringat kasus tetangga sebelah rumah dulu, yang menyiksa anaknya setengah mati. Ketika istri saya melapor, pengurus RT malah bernada membela, karena ternyata sama-sama penyiksa anak juga --meski tidak sefatal tetangga sebelah rumah yang kini sudah diusir itu.:P
Ini sebagian tingkah polah tetangga di lingkungan saya. Sabtu pagi, sekitar pukul 06.00, di depan rumah ada ribut-ribut. Tetangga depan rumah, L, rumahnya digedor-gedor tetangga lainnya, N.
Rupanya N, yang mengutangkan uangnya pada L sebesar Rp 2,5 juta beberapa bulan lalu, sudah kehilangan kesabaran. Sambil menenteng senapan angin berkaliber besar, dia melabrak L, mantan tukang ojek yang kini jadi pengangguran.
Insiden itu pun terjadi. L yang lari ketakutan ditembak mata kakinya, hingga berdarah-darah. Tak cukup itu, satu pukulan popor senapan angin N, yang berprofesi sebagai satpam sebuah restoran, mendarat di perut L yang kurus kering itu.
L, yang ternyata punya utang di beberapa tetangga lainnya pun, digelandang ke rumah Ketua RT. Akhirnya, polisi pun dilibatkan. L, sambil terpincang-pincang, dibawa ke kantor Polsek.
Babak II
Sekitar pukul 11.00, A, istri L, rupanya baru pulang dari kantor polisi menjenguk suaminya, setelah berjualan sayur keliling kampung sambil menggendong bayinya sejak pagi buta.
Melihat kondisi suaminya, jelas A stres, bahkan kelewat stres. Hingga ia mengalami kesurupan (trance). Dalam kondisi bawah sadarnya, ia mengoceh bahwa ia tidak terima suaminya diperlakukan demikian. "Si Lani memang busuk, tapi saya tidak terima kalau sampai ditembak," serunya.
Babak III
Akhirnya diperoleh kabar, L dibawa ke rumah sakit, untuk dioperasi kakinya. N mau bertanggung jawab membayar biaya pengobatan L, sekaligus merelakan utangnya yang Rp 2,5 juta itu (karena "sudah puas menembak," katanya). Bahkan, N, bersama pengurus RT menjemput L dengan angkot dan mengantarkannya ke rumahnya.
Yah, itulah cermin masyarakat kita yang sakit. Utang yang masuk perkara perdata, diselesaikan dengan penembakan, yang sebenarnya bisa dipidanakan. Masih untung keluarga korban tidak balik memperkarakannya ke polisi. Uang hilang, hubungan bertetangga pun jadi renggang.
Saya jadi teringat kasus tetangga sebelah rumah dulu, yang menyiksa anaknya setengah mati. Ketika istri saya melapor, pengurus RT malah bernada membela, karena ternyata sama-sama penyiksa anak juga --meski tidak sefatal tetangga sebelah rumah yang kini sudah diusir itu.:P
1 Comments:
wih ngeri ya pak...begitulah terkadang himpitan ekonomi membuat orang jadi kalap dan tega menyakiti ....harus kuat iman dan banyak istighfar ya pak..hih ...ngeri ah..(nug)
Post a Comment
<< Home