Imajinasi Mang Idi
SEWAKTU masih kelas 1-kelas 2 SD pertengahan 1970-an, saya senang mendengar Mang Idi bercerita. Pria berotot dan bertato, namun berhati lembut dan senang anak-anak itu bekerja membantu nenek saya, mulai dari masak nasi, masak air, bersih-bersih halaman, hingga menjadi kernet angkot punya nenek, yang disopiri om Arif. Kalau lagi menyajikan minuman untuk tamu, ciri khasnya (atau penyakitnya? Parkinson-kah?), tangannya gemetaran, sampai kedengaran bunyi gemeretak cangkir dengan piring tatakannya.
Nah, kegemaran Mang Idi ngarahul (Bahasa Sunda: artinya, membual) inilah yang saya ingat terus, meski kejadiannya sudah 30 tahunan lalu. Ya, saya masih ingat imajinasi Mang Idi yang "liar" itu.
Dia pernah bercerita bahwa dengan tangannya yang berotot, dia bisa mengangkat angkot yang dikernetinya hanya dengan satu tangan (sambil memeragakan dengan tangannya yg kekar). Saya, yang waktu itu berusia 7 tahunan --sama dengan Fay sekarang-- begitu terpukau mendengar ceritanya. *Angkot yang dimaksud, angkot tahun 1970-an bermerek "Mini-Ace" yang beroperasi di Kota Bandung yang belum mengenal pengaturan trayek. Jadi hari ini mau trayek Kebon Kalapa-Dago, terus besok trayek Kb Kalapa-Cimahi, ga masyalah.* :D
Berkali-kali dia memeragakan keterampilan sulap. Sebuah batu seukuran kelereng besar "dimasukkan mulutnya" (ada benjolan di pipinya sebagai tanda, batu itu benar di mulutnya), "ditelannya", masuk perut, terus "keluar" dari belakang. Dalam tempo 3 detik, batu itu sudah ada lagi di telapak tangannya. Saya juga terpukau dibuatnya. Meski sulap yang sama diulang dan diulangnya sampai berkali-kali.
Ia juga pernah mempertontonkan kekuatan otot kedua lengannya. Saya dan Reva, sepupuku, bergantung di masing-masing lengannya. Dia dengan santai bisa mengangkat kami.
Beberapa tahun kemudian, Mang Idi (kalo gak salah) mengundurkan diri, pulang ke kampungnya di Kadipaten, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Terakhir, saya lihat dari dalam bus, Mang Idi menjadi pedagang asongan di Terminal Bus Majalengka, akhir 1970-an. Di manakah Mang Idi sekarang? Bagaimana kabarnya? Saya juga tidak tahu. :)
Nah, kegemaran Mang Idi ngarahul (Bahasa Sunda: artinya, membual) inilah yang saya ingat terus, meski kejadiannya sudah 30 tahunan lalu. Ya, saya masih ingat imajinasi Mang Idi yang "liar" itu.
Dia pernah bercerita bahwa dengan tangannya yang berotot, dia bisa mengangkat angkot yang dikernetinya hanya dengan satu tangan (sambil memeragakan dengan tangannya yg kekar). Saya, yang waktu itu berusia 7 tahunan --sama dengan Fay sekarang-- begitu terpukau mendengar ceritanya. *Angkot yang dimaksud, angkot tahun 1970-an bermerek "Mini-Ace" yang beroperasi di Kota Bandung yang belum mengenal pengaturan trayek. Jadi hari ini mau trayek Kebon Kalapa-Dago, terus besok trayek Kb Kalapa-Cimahi, ga masyalah.* :D
Berkali-kali dia memeragakan keterampilan sulap. Sebuah batu seukuran kelereng besar "dimasukkan mulutnya" (ada benjolan di pipinya sebagai tanda, batu itu benar di mulutnya), "ditelannya", masuk perut, terus "keluar" dari belakang. Dalam tempo 3 detik, batu itu sudah ada lagi di telapak tangannya. Saya juga terpukau dibuatnya. Meski sulap yang sama diulang dan diulangnya sampai berkali-kali.
Ia juga pernah mempertontonkan kekuatan otot kedua lengannya. Saya dan Reva, sepupuku, bergantung di masing-masing lengannya. Dia dengan santai bisa mengangkat kami.
Beberapa tahun kemudian, Mang Idi (kalo gak salah) mengundurkan diri, pulang ke kampungnya di Kadipaten, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Terakhir, saya lihat dari dalam bus, Mang Idi menjadi pedagang asongan di Terminal Bus Majalengka, akhir 1970-an. Di manakah Mang Idi sekarang? Bagaimana kabarnya? Saya juga tidak tahu. :)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home