Friday, December 16, 2005

Terjadilah Apa yang Seharusnya Terjadi


KATA-kata teman kuliahku ini selalu kuingat sampai sekarang. Namanya sebut saja S. Cowok berjanggut jarang itu adalah teman seangkatan dan sejurusan di kampus yang letaknya terpencil di Jalan Sekeloa, Bandung (sekarang sudah megah di Jatinangor sana).

Ceritanya, sejak lulus SMA tahun 1986, S ternyata sudah menikah. Sebagai “bujangers”, kami para cowok penasaran ingin “menimba ilmu” dari sohib yang sudah berpengalaman itu. Kebetulan S memang orangnya ekstrovert; sangat terbuka untuk hal-hal yang “peka” sekali pun.

Nah, S mulai bercerita, pernikahan mudanya itu tidak ada yang aneh apalagi harus dicurigai. Niatnya semata-mata --sebagai muslim yang baik-- katanya ingin “menjaga pandangan”. Jadi bukan karena terpaksa, apalagi dipaksa hansip.

Masalahnya, waktu itu ia belum punya kerja (S sempat vakum 1 tahun sejak lulus SMA sebelum bertemu dengan kami di kampus). Padahal setelah menikah, ia punya tanggung jawab menafkahi seorang istri. Lalu, bagaimana caranya?

Orangtua kedua belah pihak akhirnya sepakat, tanggung jawab nafkah masih dipegang orangtua masing-masing. Artinya, hubungan mereka setelah akad nikah seperti pacaran saja. Kalau mau ketemu, S boleh “mengapeli” istrinya di rumah orangtuanya. Tapi ada satu syarat: nggak boleh hamil dulu (bahkan dia bilang, untuk sementara, nggak boleh “berhubungan” dulu sebelum dapat pekerjaan). *huh, berat amat! *

Pada suatu hari, S lagi “ngapeli” istrinya, saat mau pulang di malam hari, turun hujan dengan lebatnya. Apa boleh buat, S pun “terpaksa” menginap di rumah mertuanya.

“Selanjutnya kalian tahu sendiri lah!” ujar S pada kami, yang mendengarkan kisahnya dengan mata berbinar-binar.

“Apa itu? Ceritakan dong!” rengek kami, ingin penjelasan yang gamblang.

“Ya, malam itu terjadilah apa yang seharusnya terjadi!” ujar S sambil ketawa, diikuti tawa kami, para “bujangers”, bahkah sebagian besar di antaranya “jombloers” itu.

Beberapa bulan kemudian, sang istri pun diketahui hamil, dan S pun “harus mempertanggung jawabkan perbuatannya”. Ia lalu melamar kerja, dan diterima bekerja di sebuah perusahaan kontraktor.

Waktu kisah ini diungkapkan sekitar tahun 1990, S sudah dikaruniai dua anak. Entah sekarang. Mudah-mudahan S dan keluarga dikaruniai kesehatan dan rumahtangganya sakinah. Amin!

Sayangnya, S tak sempat diwisuda bareng kami, para “bujangers”, karena kuliahnya tidak selesai. Ia lebih memilih program D3 di kampus sama, yang barangkali lebih menjanjikan.

Image: mediabuilder

2 Comments:

Blogger Lili said...

Kasihan ya, ternyata masih banyak yah pemikiran ortu kita yg narrow minded. Padahal jika memang pernikahan itu terjadi atas kehendak Allah, Insya Allah rezeki itu akan datang dari Allah.

Dgn memisahkan sang suami istri dan tidak memperbolehkan berhubungan, yaa ngapain juga menikah....duuuh biyung.

Tapi memang jika aku sendiri di posisi ortu yg notabena anaknya mau menikah setelah lulus SMA...yaa aku sih jg pasti bingung, tapi dgn ilmu agama dan ada Allah bersama kita, mudah2an Ummi bisa merelakan keputusan apapun yg diambil anak Ummi nanti asalkan tidak melanggar perintah Allah dan tidak keluar dari Tauhid serta Akidah Islam, Insya Allah.

8:20 PM  
Blogger Tian Arief said...

betul ummi. mungkin kekhawatiran ortu atau pengantinnya sendiri, belum bisa memberi nafkah lahir, karena belum bekerja. tapi selalu ada jalan ya?

7:19 PM  

Post a Comment

<< Home